UU Pemilu Diusulkan Direvisi dalam Prolegnas DPR 2025-2029
Badan Legislasi DPR RI menggelar rapat di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu (30/10).
JAKARTA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengusulkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu direvisi dengan memasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI 2025-2029.
Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Agustyati mengatakan bahwa sistem pemilu saat ini telah diputuskan untuk dilakukan secara serentak berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, tujuan untuk menguatkan sistem presidensial, serta melihat dari proses dan hasil pemilu, ternyata belum mencapai apa yang diinginkan.
"Pada Pemilu 2019 kita mengalami kompleksitas yang luar biasa, dan pemilu serentak lima kotak kita ulangi lagi pada Pemilu 2024," kata Khoirunnisa saat rapat bersama Badan Legislasi di kompleks parlemen, Jakarta, kemarin.
Khoirunnisa menjelaskan bahwa kompleksitas yang terjadi adalah soal banyaknya surat suara yang tidak sah karena masalah yang dialami oleh pemilih. Pada tahun 2019 ada sekitar 17 juta suara yang tidak sah dan pada tahun 2024 ada sekitar 15 juta surat suara yang tidak sah.
Jika nantinya pembahasan revisi UU Pemilu bergulir, dia memprediksi bahwa perdebatan yang bakal terjadi adalah soal pemungutan suara dengan sistem terbuka atau tertutup. "Biasanya perdebatan kerasnya pada isu itu saja, padahal menurut kami banyak hal lain yang sebetulnya juga penting untuk ditelusuri kembali," kata dia.
Selain itu, Khoirunnisa mengatakan bahwa revisi UU Pemilu diperlukan karena UU tersebut yang paling banyak diuji di Mahkamah Konstitusi. "Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 telah diuji sebanyak 134 kali sejak disahkan," katanya.
Seperti diketahui, Badan Legislasi (Baleg) DPR membuka peluang untuk merevisi paket delapan UU politik lewat metode gabungan Omnibus Law.
Wacana itu disampaikan Wakil Ketua Baleg DPR Ahmad Doli Kurnia usai rapat dengar pendapat umum dengan sejumlah organisasi pemantau pemilu.
Doli mengatakan pelaksanaan Pemilu 2024, terutama perlu dievaluasi karena sejumlah masalahnya. "Makanya saya tadi mengusulkan ya sudah kita harus mulai berpikir tentang membentuk undang-undang politik dengan metodologi Omnibus Law. Jadi, karena itu saling terkait semua ya," kata Doli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.
Rincian delapan UU yang bakal direvisi dengan metode Omnibus Law itu meliputi UU Pemilu, UU Pilkada, UU Partai Politik, UU MD3, UU Pemerintah Daerah, UU DPRD, UU Pemerintah Desa, dan UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.
Menurut dia, berdasarkan hasil rapat pada kesempatan itu, dari sejumlah UU tersebut, ada keinginan bersama untuk menyatukan UU Pemilu dan Pilkada.
Hemat Anggaran
Sementara itu, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Saleh Partaonan Daulay mengusulkan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya menjadi lembaga adhoc yang hanya terselenggara selama dua tahun untuk persiapan dan pelaksanaan Pemilu.
Menurut dia usulan diperlukan agar negara dapat menghemat anggaran, khususnya ketika KPU tidak sedang berada pada tahun-tahun Pemilu. Karena, menurut dia, tahapan pemilu yang dilaksanakan secara serentak dapat selesai dalam waktu dua tahun.
"Jadi kita sedang berpikir sedang berpikir di DPR, justru KPU itu hanya lembaga adhoc, dua tahun saja. Ngapain kita menghabiskan uang negara kebanyakan," kata Saleh, Kamis (31/10).
Dia menilai bahwa KPU sejauh ini di tahun ketiga, keempat, hingga kelima, setelah Pemilu, hanya melakukan sejumlah kegiatan bimbingan teknis (bimtek) semata. Dia pun ragu terhadap kegiatan bimtek tersebut.
Redaktur : Sriyono
Komentar
()Muat lainnya