Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Keuangan Negara I OJK Diminta Lebih Ketat Lagi, Kredit Bank 65 Persen Wajib ke UKM

Utang Negara yang Tidak Produktif Bakal Menghisap Darah Rakyat

Foto : Sumber: Kemenkeu – Litbang KJ/and - KJ/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Masalah fundamental Indonesia saat ini adalah tumpukan utang yang mengikis hampir sepertiga belanja fiskal setiap tahun. Akibatnya, alokasi belanja negara yang seharusnya bisa digunakan untuk membiayai pembangunan yang lebih luas, malah habis disedot untuk membayar utang.

Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, yang diminta pendapatnya di Jakarta, Rabu (18/10), mengatakan tumpukan utang RI karena penarikan utang tidak dilakukan dengan bijak. Pinjaman yang ditarik bukan untuk kegiatan produktif, tetapi lebih banyak untuk membiayai yang sifatnya konsumtif. Kondisi tersebut makin diperparah dengan kewajiban membayar tumpukan utang lama, yaitu obligasi rekap BLBI yang terus menghantui keuangan negara.

Sebagian masyarakat, kata Badiul, mengira berutang itu hal yang biasa. Padahal secara mendasar, utang itu bisa dibedakan menjadi utang produktif dan tidak produktif. Utang yang tidak produktif itu digunakan untuk membiayai kebutuhan yang sifatnya konsumtif, seperti makan dan terus menambah utang untuk makan.

Sangat berbeda dengan utang yang produktif, yang diperuntukkan bagi kegiatan produksi dan kebutuhan makan berasal dari kelebihan yang diproduksi. "Masalah RI, kita berutang untuk makan dan menambah utang untuk makan, serta membayar cicilan utang lama. Pada akhirnya, kita bisa mati dalam utang," kata Badiul.

Masalah kedua, jelas Badiul, adalah cara menghitung rasio utang. Rasio utang tidak bisa dihitung terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sebab, PDB kalau hasil dari konsumsi, negara tidak mempunyai tabungan yang cukup untuk membayar cicilan utang. "Jadi utang hanya habis untuk konsumsi," ujar Badiul.

Rasio utang seharusnya dihitung dengan surplus perdagangan transaksi berjalan. "Kalau kita sekarang punya utang 450 miliar dollar AS, dengan beban bunga 7 persen saja (rata-rata cost of money) maka sudah 35 miliar dollar AS. Kalau surplus perdagangan kita hanya dua miliar dollar AS kan masih negatif 33 miliar dollar AS," katanya.

Dari gambaran tersebut menunjukkan kemampuan anggaran untuk mencicil bunga saja tidak mampu, apalagi mencicil pokok bunga, uangnya tidak ada.

"Berarti defisit kita bukan 33 miliar dollar AS, tapi 33 plus pokoknya 45 (10 persen dari jumlah utang), berarti kita defisit 78 miliar dollar AS," katanya.

Oleh karena itu, jangan kaget kalau utang RI setiap 10 tahun meningkat 50 persen. Berarti 10 tahun lagi, utang sudah sekitar 700 miliar dollar AS.

Tidak Bisa Dikejar

Lebih lanjut dikatakan, pertumbuhan utang dan beban bunga tidak bisa dikejar dengan pertumbuhan nasional apalagi dengan kondisi trade deficit yang terus meningkat karena tidak punya daya saing.

"Kenapa kita kehilangan daya saing? Dari pemerintah ke pemerintah, kebijakan hanya membuat sektor pertanian dan industri nasional kopong. Itulah kenapa oligarki dan kroni mematikan satu bangsa, tetapi pemimpin malah terbuai," katanya.

Kondisi tersebut kalau terus dibiarkan ibarat jalan ke jurang, tapi tidak ada yang mau belok karena jalan menuju jurang itu nikmat, tanpa kerja keras, tapi dapat kekuasaan dan kekayaan. Jalan pintas itu diakui memang nikmat, tapi menuju jurang.

Kalau selama ini hampir semua pihak menggaungkan para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) perlu dibantu, pada kenyataannya industri dan sektor riil kopong, UMKM terabaikan tanpa tersentuh software dan inovasi teknologi. Begitu pula jalur marketing distribution, dan akses permodalan yang terbatas, sehingga tidak mungkin UMKM maju.

"Semua dana sebenarnya milik negara, tapi tidak dimanfaatkan untuk membantu pelaku UMKM. Sebab, mereka lebih enak bekerja sama dengan para kroni," kata Badiul.

Dia juga mengkritik kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) yang dinilai secara sadar menyuburkan ketimpangan dengan mempertahankan spread margin yang tidak masuk akal.

"Kita cuma bisa berharap OJK bisa mengatur lebih ketat lagi, minimal kredit bank 65 persen wajib ke UMKM. OJK harus terapkan ini," katanya.

Dalam penerapannya memang tidak sekaligus porsinya 65 persen, tetapi bisa bertahap mulai dari 35 persen, 45 persen, 55 persen, dan terus 65 persen. Kalau tidak dipaksa maka diyakini tidak akan berjalan.

Hal itu karena manajemen bank lebih suka di lapangan golf kongko-kongko, dan tidak pernah bersama rakyat. Dari 1998 sampai sekarang, kebiasaan itu tidak berubah. Mereka jalan-jalan ke luar negeri, dapat fasilitas kartu kredit tanpa batas, dapat bonus, fasilitas asuransi, dan lain-lain, tapi tidak pernah memikirkan rakyat.

"Kalau tidak ada keharusan dari OJK, mereka tidak akan kerja untuk kepentingan rakyat. Sebab, enakan dengan penguasa supaya tetap di jabatan. Itu yang terjadi, komisaris semua hanya pajangan, tidak pernah tentukan arah perbankan," kata Badiul.

Intermediasi Bank Gagal

Sementara itu, ketua SHW Center, Hardjuno Wiwoho, dari Yogyakarta, mengatakan bank-bank sebenarnya gagal dalam menjalankan fungsi intermediasi. Hal yang mencuat adalah sistem kroni kapitalisme. Bank pasti gagal kalau sudah banyak berpihak ke kroni kapitalisme.

Di Tiongkok, eksekutif atau chairman bank yang terbukti bersalah karena korupsi atau berkolusi dalam menyalurkan kredit secara masif dan sekarang menjadi kredit macet, dijatuhi hukuman mati atau hukuman seumur hidup.

Indonesia, kata Hardjuno, sudah kolaps berkali-kali, tapi tetap tidak ada tanggung jawab. Semua ditumpahkan di Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan obligasi rekap dan diteruskan dari rezim ke rezim.

Dengan bunga saja sudah mencapai 500 triliun rupiah di APBN, maka hampir sudah tidak ada anggaran yang tersisa untuk pembangunan rakyat. Belum ditambah dengan biaya administrasi.

"Jangan-jangan kita tidak sadar menuju jurang dan kita bangga karena dipuji lembaga internasional, padahal kita sekarang menuju jurang. Itu yang terjadi di negara yang gagal. Maka itu, kita harus cepat banting setir. Kita membutuhkan pemimpin yang mampu melakukan itu, bukan merebut kekuasaan untuk kroni. Pemimpin baru harus berjuang untuk ini. Mengubah paradigma dengan banting setir dari semula konsep yang mengisap darah rakyat, menjadi pengasup ke rakyat," kata Hardjuno.

Negara, tambahnya, berkewajiban memberi asupan darah kepada rakyat, bukan malah menghisap darah rakyat. Utang negara yang produktif akan memberi asupan darah kehidupan untuk rakyat, sedangkan utang negara yang tidak produktif pasti akan menghisap darah rakyat.

Kemunduran Demokrasi

Sementara itu, pakar politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, Hari Fitrianto, menyatakan prihatin, di tengah beban utang negara yang semakin besar, justru terjadi kemunduran demokrasi yang menyuburkan praktik politik dinasti dan kronisme.

"Siapa pun pemimpinnya, ke depan harus mengembalikan kondisi politik seperti dulu, tidak membiarkan praktik kronisme dan oligarki. Pemimpin ke depan harus memastikan itu. Secara norma maupun hukum tidak membiarkan praktik kronisme dan oligarki,"pungkas Hari.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top