Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Keuangan Negara I Penarikan Pinjaman Harus untuk Biayai Kegiatan Produktif

Utang Membuat APBN Sulit Jadi Instrumen Pemulihan

Foto : Sumber: Kementerian Keuangan - KJ/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

» Tanpa indikator yang jelas, utang dikhawatirkan malah jadi beban di masa mendatang.

» Pemerintah seharusnya menagih piutang negara ke penerima BLBI yang belum melunasi.

JAKARTA - Komitmen Menteri Keuangan, Sri Mulyani, untuk menjaga keseimbangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar tetap jadi instrumen pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19 dinilai sangat sulit. Sulitnya APBN jadi instrumen pemulihan karena dalam komposisi belanja negara sudah terbebani oleh pembayaran cicilan dan bunga utang.

Pakar Ekonomi dari Universitas Brawijaya Malang, Munawar Ismail, mengatakan di tengah krisis, pemerintah harus pandai memanfaatkan anggaran supaya tetap produktif.

"Bila ingin seimbang maka utang yang ditarik meskipun besar tapi harus tetap produktif, sehingga ada prospek untuk mengembalikannya. Sebab itu, penggunaannya harus tepat, prioritaskan untuk program yang produktif, yang mampu menggerakkan ekonomi di bawah. Jangan sekadar tumbuh dan berputar di lingkaran yang sama," kata Munawar.

Selain itu, program yang dibiayai dari belanja negara harus berdampak pada semua lapisan masyarakat.

"Kalau indeks gini masih tinggi, artinya distribusinya belum merata. Pemerintah harus memiliki indikator produktivitas untuk memastikan efektivitas penggunaan utang. Tanpa indikator yang jelas, dikhawatirkan utang tersebut justru menjadi beban masa datang," kata Munawar.

Secara terpisah, Pengamat Ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, mengatakan pemerintah tidak perlu mengambil utang baru untuk membuat keseimbangan APBN karena hanya menambah beban keuangan negara ke depannya.

"Masih banyak cara yang bisa ditempuh sebagai alternatif sumber keuangan pemerintah tanpa harus mengutang. Pemerintah bisa menagih piutang negara, termasuk ke penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang belum melunasi," kata Salamuddin.

Menurut dia, UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan memberi keleluasaan kepada pemerintah berutang di atas 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sebab itu, pada tahun lalu, pemerintah menarik utang baru 1.000 triliun rupiah lebih yang sebagian besar diperoleh dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Tahun ini pun target utang atau pembiayaan baru masih mencapai sekitar 1.000 triliun rupiah.

"Utang lebih dari 1.000 triliun rupiah tiap tahun sampai 2023, akan diperoleh dengan menyedot uang bank, dana Jamsostek, dana pensiun dan asuransi ke SBN, sementara semua dana publik tersebut dirundung masalah korupsi yang parah," katanya.

Akibatnya, likuiditas di bank dan di masyarakat kering, sehingga masyarakat susah berusaha dan berbelanja. Dengan kondisi yang hampir remuk, akan datang masalah baru yakni bayar cicilan dan bunga serta pokok utang yang jatuh tempo.

"Kondisi tersebut tidak hanya membahayakan keuangan negara, namun eksistensi negara," katanya.

Tugas Besar

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam acara Forum Kebijakan Pembiayaan Proyek Infrastruktur melalui SBSN Tahun 2021, di Jakarta, Rabu (20/1), mengatakan keseimbangan APBN diperlukan karena memiliki dua tugas besar dalam menghadapi krisis. Pertama, harus mampu membiayai penanganan di bidang kesehatan terutama pandemi Covid-19 yang kasusnya masih terus melonjak.

Kedua, jelas Menkeu, APBN harus mampu mendukung masyarakat yang sedang menghadapi tekanan akibat pandemi yang diimplementasikan melalui pemberian bantuan sosial sekaligus mendukung dunia usaha melalui berbagai insentif.

Selama ini, papar Menkeu, APBN telah bekerja sangat keras untuk bisa mengurangi beban akibat pandemi yang tecermin dari realisasi belanja pada 2020 mencapai 2.589,9 triliun rupiah atau tumbuh 12,2 persen (yoy). n SB/ers/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top