Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Strategi Pembangunan - Inflasi Tinggi Bisa Berdampak pada Daya Saing Industri

Utang Makin Besar Timbulkan Kekhawatiran Serius

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Penambahan utang tiap tahun yang dilakukan pemerintah menimbulkan kekhawatiran serius terkait kemampuan Indonesia untuk membayar kembali utang di masa depan. Ada risiko utang yang terus bertambah dapat membebani anggaran negara secara berkelanjutan. Beban pembayaran utang yang semakin besar akan semakin menekan APBN.

"Dengan meningkatnya kebutuhan untuk membayar utang dan bunganya, ruang fiskal yang tersisa untuk membiayai program-program pro kerakyatan seperti bantuan sosial, pendidikan, dan kesehatan akan semakin terbatas," kata ekonom dari Universitas Muhamamdiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf, kepada Koran Jakarta, Selasa (13/8).

Dia mengatakan meskipun Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebut strategi ini sebagai bagian dari pendekatan countercyclical, di mana utang digunakan untuk menstabilkan perekonomian saat kondisi sedang lesu, ada risiko bahwa utang yang terus bertambah dapat membebani anggaran negara secara berkelanjutan.

Maruf mengatakan beban pembayaran utang yang semakin besar bisa berakibat pada penurunan kualitas dan jangkauan layanan publik yang diberikan kepada masyarakat.

Kepercayaan Pasar

Selain itu, menurut Maruf, dalam jangka panjang, ketergantungan pada penerbitan utang sebagai solusi pembiayaan bisa menurunkan kepercayaan pasar terhadap stabilitas fiskal Indonesia. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, hal ini bisa meningkatkan risiko pembiayaan, seperti suku bunga yang lebih tinggi di masa mendatang atau kesulitan untuk mendapatkan pembiayaan baru.

"Strategi pengelolaan utang yang dilakukan pemerintah harus dipertimbangkan kembali, terutama dalam konteks dampaknya terhadap kemampuan negara untuk terus mendanai program-program yang esensial bagi kesejahteraan rakyat. Jika tidak, Indonesia mungkin menghadapi tantangan yang semakin berat dalam menjaga keseimbangan antara membayar utang dan memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya," papar Maruf.

Sementara itu, pakar ekonomi dari Universitas Airlangga, Surabaya, Rudi Purwono, mengatakan potensi pelemahan rupiah dan kurs dollar AS saat ini yang tidak jauh dari 16 ribu rupiah akan berdampak pada utang luar negeri. Ketidakpastian ekonomi yang terjadi membuat banyak pihak merasa perlu memegang dollar AS. Ini akan mendorong pembayaran bunga utang luar negeri yang menjadi lebih mahal.

"Ini juga tentu berimbas pada penekanan APBN dan perusahaan swasta. Di sektor keuangan, inflasi yang tinggi bisa memicu kenaikan suku bunga. Dampaknya meningkatkan biaya modal bagi industri, yang bisa berdampak pada daya saing," kata Rudi.

Apa yang disampaikan Maruf dan Rudi ini menanggapi penyataan Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Menkeu mengatakan Kemenkeu mencatatkan realisasi pembiayaan utang sebesar 266,3 triliun rupiah hingga 31 Juli 2024. Realisasi pembiayaan utang mengalami pertumbuhan yang tinggi bila dibandingkan realisasi tahun lalu, yakni sebesar 36,6 persen.

"Dari postur pembiayaan utang yang sebesar 648,1 triliun rupiah, realisasi baru sebesar 266,3 triliun rupiah. Ini berarti 41,1 persen dan ini baru bulan ketujuh," kata Menkeu dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi Agustus 2024, di Jakarta, Selasa (13/8).

Namun, menurut Menkeu, kondisi itu terbilang wajar mengingat penerimaan negara tahun lalu cukup tinggi berkat kenaikan signifikan dari harga komoditas. "Makanya tahun lalu penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) mengalami penurunan luar biasa, dari harusnya 437,8 triliun rupiah menjadi hanya 184,1 triliun rupiah," ujarnya.

Adapun tahun ini, realisasi penerbitan Surat Berharga Negara tercatat sebesar 253 triliun rupiah atau 38 persen dari target APBN. "Karena harga semua komoditas sudah kembali, sehingga memang defisit diperkirakan pasti lebih tinggi dari 2023," kata Menkeu.

Namun, Menkeu menyatakan peningkatan tersebut merupakan bagian dari strategi countercyclical, dengan Kemenkeu menerbitkan SBN lebih banyak demi menstabilkan perekonomian yang lesu. Sementara ketika perekonomian tinggi seperti tahun lalu, Kemenkeu menurunkan penerbitan SBN guna mengimbangi efek ledakan harga komoditas.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top