Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Upaya Pengemudi Tuk-tuk Perempuan di Kamboja Melawan Prasangka Gender

Foto : AFP/TANG CHHIN Sothy

Pengemudi Tuk-tuk | Roeung ”Sopy” Sorphy, seorang pengemudi tuk-tuk perempuan di Kota Siem Reap, Kamboja, bersiap mengantar turis mengelilingi kompleks kuil Angkor Wat pada 17 November lalu. Menjadi pengemudi tuk-tuk merupakan tantangan bagi kaum perempuan di Kamboja karena mereka selain harus bisa bersaing juga harus menghadapi rentetan ejekan, kebencian, dan prasangka.

A   A   A   Pengaturan Font

Setiap hari, Roeung Sorphy dengan cekatan menyusuri jalanan Kota Siem Reap, zig-zag melewati mobil, sepeda motor, dan sesekali anjing liar saat ia menggiring wisatawan ke kompleks kuil Angkor Wat yang terkenal.

Namun dalam perjalanannya, menjadi salah satu dari sedikit pengemudi tuk-tuk perempuan di Kamboja, perempuan berusia 37 tahun yang akrab dipanggil Sopy ini harus menghindari tidak hanya pengguna jalan lain, tetapi juga rentetan ejekan, misogini, dan prasangka.

Kamboja telah mengambil langkah-langkah hukum dan praktis menuju kesetaraan gender, namun masyarakatnya masih konservatif dan patriarki. Kaum perempuan biasanya diharapkan untuk mengurus rumah tangga dan keluarga daripada mencari pekerjaan yang dibayar.

Saat pertama kali Sopy turun ke jalan, memang berat. "Awalnya mereka (pengemudi pria) meremehkan saya. Mereka mengatakan kami perempuan harus tinggal di rumah dan mencuci piring," kata dia saat menjabarkan bagaimana ia dilecehkan dan diserang secara verbal ketika bersaing untuk mendapatkan ongkos jasanya.

"Tetapi kami tetap bertahan," kata dia usai membersihkan tuk-tuknya, dengan penuh semangat menghiasinya dengan bunga teratai putih yang sedang mekar.

Dia memulai kariernya setelah meminjam 3.000 dollar AS untuk membeli tuk-tuk, dan kini telah berkendara melalui jalan yang teduh di Taman Angkor selama lebih dari tiga tahun.

"Kita tidak bisa hanya mengandalkan suami saja," kata Sopy seraya mendesak lebih banyak perempuan untuk terjun dalam profesi ini. "Kami kuat seperti laki-laki," imbuh perempuan yang suaminya juga seorang sopir tuk-tuk.

Dia mengenakan tarif sekitar 15 dollar AS per penumpang untuk tur keliling Angkor, sebuah situs Warisan Dunia UNESCO yang amat luas. Setelah bertahun-tahun, rekan-rekan prianya akhirnya mau menerimanya.

"Kami telah memenangkan hati mereka dan mereka pun berhenti mendiskriminasi kami. Mereka menganggap kami setara," kata Sopy.

Hadapi Diskriminasi

Berdasarkan laporan Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (US Agency for International Development) pada 2020 lalu menyatakan bahwa kaum perempuan terhambat oleh upah rendah, kondisi kerja yang buruk, kurangnya pengasuhan anak, dan terbatasnya akses terhadap keuangan dan pelatihan.

Untuk membantu perempuan di bidang yang didominasi laki-laki, pengemudi terkenal Kim Sokleang, yang lebih dikenal sebagai "Tuk-tuk Lady", tahun lalu mendirikan Asosiasi Pengemudi Siem Reap Remorque. Kelompoknya terdiri dari 20 pengemudi perempuan, enam di antaranya, seperti dia, adalah ibu tunggal.

"Diskriminasi terhadap perempuan Kamboja masih ada," kata Kim saat menunggu penumpang di Kuil Bayon.

Setelah bercerai pada tahun 2013, Kim mulai mengendarai tuk-tuk di Ibu Kota Phnom Penh untuk memberi makan kedua putranya.

"Pada hari pertama, saya tidak mendapat penumpang," kata Kim, mengenang bagaimana seorang perempuan pernah menolak untuk menaik tuk-tuk yang dikendarainya.

Karena merasa mencari penumpang di Phnom Penh sulit, Kim, 39 tahun, lalu pindah ke Siem Reap pada tahun 2015 untuk mengantar wisatawan. Awalnya sulit, kata Kim, menggambarkan bagaimana dia menangis di dalam tuk-tuknya ketika dia tidak mendapatkan uang.

"Mereka menganggap perempuan terlalu lemah untuk memegang kemudi dan perempuan tidak bisa bekerja seperti orang lain," kata Kim.

Namun ketekunannya membuahkan hasil danTuk-tuk Ladykini dipuji oleh wisatawan lokal dan asing yang mengunjungi tujuan wisata utama Kamboja itu. Pengunjung asal Norwegia, Stine Solheim dan seorang temannya misalnya, mengaku bahwa mereka merasa aman dengan Kim yang mengemudikan tuk-tuk yang mereka naiki dan mereka terkesan dengan upayanya untuk membela perempuan.

"Mereka sangat bersemangat dengan apa yang mereka lakukan dan mereka sangat menikmatinya serta merasa bangga," kata Solheim.

"Awalnya, sebagai perempuan, sulit menerima diri saya menjadi sopir tuk-tuk. Saya tidak pernah berpikir saya bisa melakukannya," kata Sieng Meng, 36 tahun.

Menurut Kim, salah satu penyebab masalah ini adalah kurangnya dukungan pemerintah. "Jika para pemimpin Kamboja datang dan menaiki tuk-tuk, hal itu akan membantu melawan prasangka," kata dia seraya berharap dirinya ingin melihat lebih banyak perempuan menempuh karier dan berencana membuka restoran tuk-tuk ketika anggota timnya pensiun. "Saya benar-benar ingin sukses menjadi sopir tuk-tuk," tandas dia.AFP/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : AFP

Komentar

Komentar
()

Top