Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Peningkatan Kualitas SDM I Generasi Usia Produktif Harus Berkualitas dan Berdaya Saing

UNICEF: Program Penanganan "Stunting" yang Kurang Tepat Harus Segera Dievaluasi

Foto : ANTARA/ANDREAS FITRI ATMOKO

ALAT DETEKSI DINI “STUNTING” I Mahasiswa Universitas Gadjah Mada menunjukkan alat deteksi dini stunting berbasis kecerdasan buatan (AI) di Kampus UGM, Sleman, D.I Yogyakarta, Senin (20/11). Alat yang diberi nama Electronic Stunting Detection System (ESDS) dirancang terintegrasi dengan sistem informasi dan aplikasi ponsel pintar serta dapat melakukan pengukuran massa dan panjang tubuh pada bayi secara cepat.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - United Nations Childrens Fund (UNICEF) atau Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa berharap Indonesia terus meningkatkan program penanganan gangguan pertumbuhan pada anak atau stunting. Pentingnya menggenjot program itu karena pemerintah telah menetapkan target yang ambisius dalam upaya menurunkan angka prevalensi stunting.

Berdasarkan data Asian Development Bank (ADB), persentase Prevalence of Stunting Among Children Under 5 Years of Age di Indonesia pada 2022 sebesar 31,8 persen. Jumlah tersebut menyebabkan Indonesia berada pada urutan ke-10 di wilayah Asia Tenggara.

Sedangkan berdasarkan data Survei Status Gizi Nasional (SSGI) tahun 2022, prevalensi stunting di Indonesia di angka 21,6 persen. Jumlah itu menurun dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 24,4 persen. Walaupun menurun, angka tersebut masih tinggi, sehingga pemerintah menargetkan prevalensi stunting pada 2024 sebesar 14 persen atau sesuai standar WHO di bawah 20 persen.

Chief of Nutrition Program Unicef Indonesia, Mamadou Ndiaye, saat menginisiasi kerja sama strategis dengan CIMB Niaga dalam membantu pemerintah menangani gizi buruk di Jakarta, Senin (20/11), mengatakan target ambisius pemerintah menurunkan angka stunting sangat menantang, namun itu harus dilakukan untuk menyelamatkan anak-anak Indonesia yang dalam 20-30 tahun ke depan menjadi generasi harapan bangsa.

"Program-program penanganan stunting yang kurang tepat harus segera dievaluasi dan mempertajam berbagai program terutama melalui kolaborasi dan sinergi dengan berbagai pihak agar target ambisius yang dicanangkan bisa tercapai," kata Mamadou Ndiaye.

Perlunya penajaman program karena penanganan stunting terutama pada balita hanya bisa diintervensi dengan pemberian gizi yang memadai hanya sampai umur dua tahun. Setelah umur dua tahun, intervensi hanya akan berpengaruh pada pertumbuhan secara fisik, namun secara kognitif sudah sulit. Akibatnya, anak kemungkinan akan memiliki keterbatasan secara kognitif yang berpengaruh pada produktivitasnya kelak yang kurang optimal.

Dalam kesempatan itu, Direktur Compliance, Corporate Affairs and Legal CIMB Niaga, Fransiska Oei, menyatakan stunting adalah masalah kesehatan serius yang harus dituntaskan bersama. Apabila tidak diatasi sejak dini akan berdampak negatif pada kesehatan, perkembangan dan kemampuan anak di masa depan. Kondisi tersebut jika dibiarkan akan mengancam bonus demografi Indonesia pada 2030, di mana generasi usia produktif seharusnya memiliki kualitas dan daya saing tinggi, justru kemampuannya tidak memadai akibat stunting.

Bantuan dan donasi dari nasabah yang digagas bank tersebut adalah senilai 1,5 miliar rupiah per tahun atau 4,5 miliar rupiah dalam tiga tahun. Bantuan tersebut akan disalurkan UNICEF kepada 1.000 anak gizi buruk di 22 Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Seribu anak gizi buruk tersebut akan mendapatkan perawatan memadai agar selamat dari ancaman gizi buruk.

Selain penanganan, program juga akan memonitor 100 ribu anak balita dan bagi mereka yang terindikasi wasting dapat dideteksi secara dini.

Sebelumnya, peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa mengatakan Penanganan stunting di Tanah Air harus serius, tidak boleh asal-asalan dan hanya untuk menghabiskan anggaran.

Jangan seperti Pemkot Depok yang menuai kritikan karena menyajikan menu pencegahan stunting yang dinilai tak layak jika dibandingkan dengan total anggaran tersedia. Balita hanya diberi menu untuk mencegah stunting berupa nasi, kuah sop, sawi, dan tahu.

Elemen Lain

Pakar Gizi dari Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga Surabaya, Trias Mahmudiono, mengatakan untuk menyiapkan program gizi yang dibutuhkan, selain ahli gizi harus ada peran serta dari seluruh pihak agar program gizi buruk tersebut dapat efektif, terutama dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

"Masalah gizi tidak akan bisa diselesaikan oleh orang-orang yang fokus dalam gizi saja, namun juga perlu bantuan dari elemen lain. Mengacu WHO dalam mengatasi SDGs, terdapat dua program besar yaitu Nutrition Specific Intervention yang hanya bisa dilaksanakan oleh orang yang ahli dalam gizi. Tetapi tak kalah penting, ada juga Nutrition Sensitive Intervention yang merupakan intervensi yang tidak secara langsung berkaitan dengan gizi, namun meningkatkan efektivitas program gizi. Nutrition Sensitive Intervention tersebut merupakan cara usaha peningkatan gizi yang bisa dilaksanakan oleh seluruh masyarakat.

Sedangkan elemen pendukung lainnya, seperti tersedianya air bersih, infrastruktur yang baik, pendidikan yang berkualitas, serta peningkatan pemberdayaan.

Sementara itu, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Awan Santosa, sepakat dengan UNICEF agar pemerintah mengevaluasi kebijakannya terkait penanganan masalah gizi buruk.

Menurut Awan, pemerintah harus lebih intensif lagi dalam melibatkan masyarakat berbasis kearifan lokal dalam mencegah dan mengatasi masalah stunting ini. "Perlu optimalisasi institusi lokal dan sumber pangan lokal juga perlu dilakukan," tegas Awan.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top