Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Situs Trowulan

Trowulan, Situs yang Jadi Saksi Bisu Kemegahan Majapahit

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Dari situs Trowulan, sisa-sisa Kerajaan Majapahit dapat dilacak. Bangunan megah yang ada dibangun sebagai fasilitas bagi keluarga raja dan juga penghargaan kepada raja.

Di Nusantara pernah berdiri kerajaan Majapahit yang kekuasaannya sangat luas. Menurut kakawin atau puisi yang ditulis dalam bahasa Jawa kuno Negarakertagama, kekuasaannya terbentang dari Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Filipina (Kepulauan Sulu), Manila (Saludung), Sulawesi, Papua, dan lainnya.

Kerajaan Majapahit yang berdiri antara 1293-1527 didirikan oleh Raden Wijaya menantu dari Raja Singasari bernama Kertanegara. Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran Kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 Saka yang bertepatan dengan tanggal 10 November 1293.

Masa keemasan kerajaan ini berada di bawah Raja Hayam Wuruk (1350-1389) dengan maha patihnya yang terkenal, Gajah Mada. Kerajaan monarki terbesar yang pernah berkuasa di Nusantara ini bercorak Hindu-Buddha, jika dilihat dari peninggalan-peninggalannya.

Dalam kitab perjalanan Yingyai Shenglan dari Tiongkok, yang ditulis oleh anak buah Kapiten Cheng Ho bernama Ma Huan, disebutkan Man-The-Po-I (Majapahit) merupakan kota yang sangat besar tempat raja bermukim. Dari sini ada kemungkinan kota yang dimaksud adalah situs Trowulan tempat berbagai temuan benda purbakala dari era itu berada.

Di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, banyak ditemukan struktur-struktur besar (candi, makam, petirtaan, dan kolam). Situs ini mencakup wilayah sekitar 5 kilometer kali 5 kilometer yang dipotong oleh jalan negara yang menghubungkan Kota Jombang dan Surabaya.

Namun demikian, temuan-temuan yang terpendam diketahui berada di luar kawasan tersebut dan mencakup kawasan lebih luas dengan ukuran 11 kilometer kali 9 kilometer, hingga mencakup pula wilayah timur Kabupaten Jombang. Bahkan sampai saat ini masih banyak ditemukan peninggalan baru di kawasan ini.

Di situs Trowulan yang telah terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO sejak 2009, bisa dijumpai peninggalan Kerajaan Majapahit yang tersebar di berbagai lokasi. Peninggalan itu antara lain Candi Bajang Ratu, Candi Brahu, Candi Tikus, Candi Kedaton, Kolam Segaran, dan Makam Putri Campa, dan lainnya.

Salah satu yang menjadi ikon dari Trowulan adalah Candi Bajangratu sebuah candi berbentuk pintu gerbang tipepaduraksaatau gapura beratap. Bangunan candi yang berada di Dukuh Kraton, Desa Temon, jaraknya sekitar 3,5 kilometer dari Candi Wringin Lawang dan sekitar 600 meter dari Candi Tikus.

Menurut laman Perpustakaan Nasional, candi ini masih menyimpan banyak hal yang belum diketahui secara pasti, seperti raja yang memerintahkan, tahun pembuatan, fungsinya dan aspek lainnya. Candi ini dari batu bata ini pertama kali disebut dalamOudheidkundig Verslag(OV) atau Laporan Arkeologi dari pemerintah Belanda pada 1915.

Semantara itu menurut arkeolog Sri Soeyatmi Satari menduga nama Candi Bajangratu ada hubungannya dengan Raja Jayanegara dari Majapahit yang dinobatkan sebagai raja ketika masih kecilataubajang. Hal ini diperkuat oleh Kitab Pararaton yang berisi sejarah raja-raja Singasari dan Majapahit. Disebut Jayanegara dinobatkan sebagai raja saat masih berumur belia.

Fungsi Bajangratu untuk menghormati raja muda Jayanegara itu. Dasar perkiraan ini adalah adanya relief Sri Tanjung di bagian kaki gapura yang menggambarkan cerita peruwatan yang biasanya untuk memohon perlindungan keselamatan bagi seorang anak. Relief peruwatan ditemukan juga pada Candi Surawana yang dibangun terkait dengan wafatnya Bhre Wengker pada akhir abad ke-7.

Dalam Kitab Pararaton dijelaskan bahwa Jayanegara wafat 1328. Setelah itu ia dibuatkan tempat sucinya di dalam kedaton. Ia juga dibuatkan arcanya dalam bentuk Wisnu di lokasi bernama Shila Petak (Sela Pathak) dan Bubat, serta dibuatkan arcanya dalam bentukAmoghasiddhidi Sukalila.

Pengaruh Tiongkok

Bentuk gapura yang mirip dengan Candi Bajangratu ada di Candi Penataran di Blitar. Relief penghias bingkai pintu yang mirip dengan relief Ramayana. Relief naga yang ada menunjukkan pengaruh oleh seni pada era Dinasti Yuan, Tiongkok.

Sementara menurut JLA Brandes, Bajangratu ditilik dari reliefnya, Candi Bajangratu dibangun pada masa yang sama dengan pembangunan Candi Jago di Tumpang, Malang. Adanya singa yang mengapit sisi kiri dan kanan pada kepala kala menjadi salah satu petunjuknya.

Candi Bajangratu dari bentuknya aslinya merupakan gapura beratap. Candi ini menghadap ke dua arah, yaitu timur-barat. Ketinggiannya mencapai puncak atap 16,1 meter dan panjangnya 6,74 meter. Gapura Bajangratu mempunyai sayap di sisi kanan dan kiri.

Sedangkan Candi Brahu berada terletak di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong. Tepat di depan kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur yang terletak di jalan raya Mojokerto-Jombang terdapat jalan masuk ke arah utara yang agak sempit namun telah diaspal. Sisi kanan jalan kecil itu Candi Brahu berada, dengan jarak 1,8 kilometer dari jalan raya.

Candi Brahu disebutkan lebih tua dibandingkan candi lain yang ada di sekitar Trowulan. Nama Brahu dihubungkan diperkirakan berasal dari kataWanaruatauWarahu, yaitu nama sebuah bangunan suci yang disebutkan di dalam prasasti pada logam tembaga bernama Alasantan yang ditemukan kira-kira 45 meter di sebelah barat candi ini.

Prasasti ini dibuat pada 861 Saka atau tepatnya 9 September 939 M atas perintah Raja Mpu Sindok dari Kahuripan. Menurut masyarakat di sekitarnya, candi ini dahulu berfungsi sebagai tempat pembakaran jenazah raja-raja Brawijaya. Akan tetapi, hasil penelitian yang dilakukan terhadap candi tersebut tidak menunjukkan adanya bekas-bekas abu atau mayat, karena bilik candi sekarang sudah kosong.

Candi Brahu menghadap ke arah barat, dengan ukuran lebar 18 meter dan panjang 22,5 meter dan. Ketinggian yang tersisa sampai sekarang mencapai sekitar 20 meter. Anehnya, candi ini tidak berbentuk persegi empat melainkan bersudut banyak, tumpul dan berlekuk, yang menjadi kekayaan arsitektur kala itu.

Bagian tengah tubuhnya melekuk ke dalam seperti pinggang. Lekukan tersebut dipertegas dengan pola susunan batu bata pada dinding barat atau dinding depan candi. Atap candi juga tidak berbentuk berbentuk prisma bersusun atau segi empat, melainkan bersudut banyak dengan puncak datar.

Di sekitar kompleks candi pernah ditemukan benda-benda kuno lain, seperti alat upacara dari logam, perhiasan dan benda-benda lain dari emas, serta arca-arca logam yang kesemuanya menunjukkan ciri-ciri ajaran Buddha. Dari sini, sehingga ditarik kesimpulan bahwa Candi Brahu merupakan candi Buddha.

Salah yang masih dijumpai adalah Candi Tikus yang berlokasi di Dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Jaraknya sekitar 13 kilometer di sebelah tenggara Kota Mojokerto. Dari jalan raya Mojokerto-Jombang, di perempatan Trowulan, membelok ke timur, melewati Kolam Segaran dan Candi Bajangratu yang terletak di sebelah kiri jalan.

Candi Tikus juga terletak di sisi kiri jalan, sekitar 600 meter dari Candi Bajangratu yang ikonik itu. Candi yang ditemukan pada 1914 ini lokasinya berada di bawah permukaan tanah, setelah terkubur untuk waktu yang cukup lama. Nama 'Tikus' hanya merupakan sebutan yang digunakan masyarakat karena ketika ditemukan ada sarang tikus.

Tidak jelas informasi yang jelas kapan dan untuk apa, dan oleh siapa Candi Tikus dibangun. Namun dengan adanya miniatur menara diperkirakan candi ini dibangun antara abad 13 sampai 14 M, yang menjadi tren bangunan menara pada rentang abad itu.

Bentuk Candi Tikus yang mirip sebuah petirtaan atau pemandian mengundang perdebatan di kalangan pakar sejarah dan arkeologi mengenai fungsinya. Sebagian pakar berpendapat bahwa candi ini merupakan petirtaan, tempat mandi keluarga raja. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top