Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Ulasan Film

Trinil: Kembalikan Tubuhku, Sekedar Nostalgia Sandiwara Radio?

Foto : Istimewa

Sepulang dari bulan madu, Rara mulai mengalami gangguan mistis, Sutan yang khawatir dengan keadaan istrinya memanggil karibnya Yusof, seorang paranormal.

A   A   A   Pengaturan Font

Sebelum Hanung Bramantyo menulis dan menyutradarai Trinil: Kembalikan Tubuhku, sebuah film horor yang cukup istimewa pernah ia buat, Lentera Merah (2006).

Karya yang dibintangi Laudya Cynthia Bella ini mampu membuat penonton baru tersadar pada menit-menit terakhir, jika ternyata film tersebut bergenre horor. Sepanjang durasi, penonton disuguhi konflik drama beraroma politik, lalu tanpa disangka ditutup oleh jump scare yang sangat 'minimalis', bahwa selama ini Risa Aprilianty, sang karakter utama adalah makhluk halus. Sebuah maha karya dengan plot twist langka di jagad perfilman nasional.

Dengan segala kelebihan narasi bercerita dan akting para cast, Lentera Merah dinominasikan untuk dua Penghargaan Citra di Festival Film Indonesia 2006 dan masih terngiang di kalangan tertentu penikmat horor Tanah Air.

Namun Trinil yang diangkat dari sandiwara radio misteri era 1980 adalah sesuatu yang berbeda. Saat itu, sandiwara dengan latar belakang era penjajahan Belanda ini mampu menghipnotis pendengarnya dari berbagai kalangan termasuk anak-anak. Bahkan nama Trinil ini begitu ampuh bagi orang tua untuk menakuti anak-anaknya yang nakal.

Dibintangi oleh Wulan Guritno, dan juga anaknya, Shalom Razade, hasil produksi oleh Dapur Film dan Seven Skies Motion, Malaysia ini turut menampilan deretan nama berbakat; Carmela van der Kruk,
Rangga Nattra, dan Fattah Amin.

Wulan Guritno berperan sebagai Rahayu, yang berubah wujud menjadi sosok hantu kepala tanpa tubuh, terbang menebar teror membuat korban-korbannya mati saat 'ketindihan' dalam tidur.

Berlatar sengketa warisan seorang pemilik kebun teh, William Saunder, film bercerita tentang pasangan suami-istri muda, Rara (Carmela van der Kruk) dan Sutan (Rangga Nattra) yang mewarisi perkebunan teh milik ayah Rara di sebuah kawasan dataran tinggi Jawa Tengah. Teror dimulai saat keduanya kembali dari bulan madu dan satu-persatu buruh kebun teh meninggal dengan cara yang tidak wajar.

Kemunculan setan Kuyang (hantu perempuan dengan rambut panjang tanpa tubuh) yang misterius dan Rara yang sering diganggu dalam tidur mendorong Sutan mencari bantuan Yusof (Fattah Amin), paranormal sekaligus teman lamanya untuk menyingkap tabir gelap di daerah itu.

Namun Yusof justru menemukan masa lalu penuh keji yang justru membahayakan dirinya, dan konflik semakin tidak terkendali.

Dari trailer maupun sinopsis yang beredar penonton bisa menebak konsep film horor kedua Hanung Bramantyo, yang dikenal sebagai sutradara film biografi dan drama komedi, Trinil adalah sekedar hiburan ringan awal tahun bagi pecinta jump scare.

Tentu ini tidak sampai memupus ekspektasi dari karya seorang Hanung yang meraih dua kali gelar Sutradara Terbaik, Festival Film Indonesia, dan sederet penghargaan lainnya. Dan Trinil: Kembalikan Tubuhku, awalnya terlihat memenuhi harapan itu.

Alur Trinil tidak berbelit dan mampu menghadirkan suasana hati masing-masing karakter ke benak penonton, ceritapun terasa hidup dengan dukungan akting yang mumpuni, lokasi syuting, tata suara dan berbagai detil artistik yang disiapkan begitu baik. Dan tentu saja sederet jump scare klasik, meskipun tidak menakutkan, namun ini mampu menebalkan kekuatan cerita, film terasa semakin hidup.

Meski ada sediki kekurangan soal logat bahasa Wulan Guritno yang sangat 'Ibu Kota' padahal ia telah tinggal sejak kecil di daerah dengan mayoritas warga berbahasa Jawa, namun secara keseluruhan Trinil tetap berhasil menyandera perhatian audiens.

Namun sayang, harnonisasi yang nyaris sempurna itu seolah dihancurkan dalam belasan menit ending film yang buruk. Memang sejak awal film ini dimaksudkan tidak terlalu menonjolkan plot twist, dengan alurnya yang mudah dipahami. Namun dengan parade jump scare seadanya, seperti sekedar syarat untuk mengakhiri sebuah film horor, ini tentu terlihat cukup gegabah.

Deretan keseruan yang ditampilkan pada akhir cerita seperti dibuat dengan terburu-buru, klise, mudah ditebak dan jauh dari aura menakutkan, kontas dengan apa yang ditampilkan dari awal hingga tengah film. Akhir film ini seperti sudah tidak ingin bercerita, hanya kewajiban menampilkan hantu Ayu terbang bergentayangan dengan durasi lebih panjang.

Namun apa pun itu, memang tidak mudah memuaskan seluruh penonton. Setidaknya bagi generasi 80-an film ini bisa menjadi ajang nostalgia saat mereka dulu sempat menikmati aura kengerian hanya lewat audio: Triiinillll… balekno gembungku (kembalikan tubuhku).


Redaktur : Selocahyo Basoeki Utomo S
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top