Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Indikator Makroekonomi - Disinflasi Bisa Indikasikan Daya Beli Melemah

Tren Deflasi Jadi Sinyal Ekonomi Lesu

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Deflasi dalam tiga bulan berturut-turut harus menjadi perhatian serius karena mengindikasikan ekonomi RI sedang lesu. Jika hal ini terus dibiarkan, dikhawatirkan kepercayaan masyarakat menurun sehingga memicu efek berantai, terutama ke sektor ekonomi.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menegaskan dirinya tidak sepakat dengan yang disampaikan pemerintah bahwa ekonomi RI masih aman, sebab deflasi pertanda ekonomi lesu.

"Deflasi berdampak pada dana pihak ketiga (DPK) dan non performing loan (NPL) perbankan. Ini early warning (peringatan dini) bagi ekonomi Indonesia, karena kondisinya mirip krisis tahun 1997-1998. Ekonomi melambat bahkan deflasi karena permintaan berkurang. Perkiraan sekitar 4,8-5 persen," tukas Esther kepada Koran Jakarta, Selasa (13/8).

Esther mengakui memang ada efek positif dengan adanya deflasi misalkan masyarakat mendapatkan harga barang murah, membiasakan hidup hemat bagi masyarakat munculnya kesadaran menabung bagi masyarakat agar bisa memenuhi kebutuhan dan terakhir nilai mata uang rupiah lebih menguat.

Namun, dampak negatifnya tak bisa disepelekan seperti kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran sehingga banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan. Akibatnya, tingkat pengangguran meningkat.

Kemudian, pendapatan bisnis atau usaha menurun sebab harga barang menurun. Selanjutnya, kerugian yang dialami pemilik usaha menyebabkan cicilan kredit di bank macet.

"Devisa atau pendapatan negara turun sebab tarikan pajak menurun sebagai akibat menurunnya pendapatan masyarakat," imbuhnya.

Dampak buruk lainnya, kegiatan perekonomian suatu negara mengalami resesi dan kemerosotan. "Produksi barang menurun karena permintaan dan daya beli terhadap barang yang berdampak pada pengurangan tenaga kerja. Mengakibatkan para investor menarik modalnya karena kegiatan jual beli lesu," urai Esther.

Karena itu, menurut dia, deflasi harus secepatnya diatasi agar perekonomian tidak semakin parah. Caranya dengan mengimplementasikan kebijakan moneter, kemudian melalui kebijakan politik diskonto Bank Indonesia (BI).

Cara lainnya dengan menerapkan kebijakan fiskal. Ini penting untuk mengatasi disinflasi. Terakhir dengan menerapkan kebijakan nonmoneter atau kebijakan yang terjadi secara alamiah atas kesadaran tingkah laku masyarakat.

Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami deflasi selama tiga bulan beruntun. Pada Juli 2024 terjadi deflasi 0,18 persen (month to month/ mtm) dengan Indeks Harga Konsumen turun dari 106,28 pada Juni 2024 menjadi 106,09 pada Juli 2024.

Sinyal Bahaya

Merespons itu, anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati, mengingatkan deflasi bisa jadi sinyal dini yang mengindikasikan melemahnya daya beli.

"Deflasi bisa menjadi sinyal bahaya karena mengindikasikan melemahnya daya beli masyarakat, tecermin juga pada penurunan pertumbuhan tahunan simpanan di bank dari 7,8 persen jadi hanya 4,1 persen utamanya tabungan di bawah 100 juta rupiah," kata Anis.

Dia menjelaskan, turunnya daya beli masyarakat dapat mempengaruhi pendapatan negara yang diakibatkan dari penurunan pajak pertambahan nilai (PPN) dan turunnya setoran pajak industri perdagangan.

Apabila daya beli masyarakat anjlok berkepanjangan tentu akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi terhambat sehingga kemiskinan akan semakin meningkat.

Sebelumnya, Deputi bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian, Ferry Irawan, menilai deflasi yang dialami Indonesia selama tiga bulan berturut-turut masih dalam kategori aman dan sesuai sasaran pemerintah.

Menurut Ferry, deflasi tersebut utamanya disebabkan harga pangan bergejolak atau volatile food yang turun minus 1,92 persen secara bulanan (mtm) dan tercatat sebesar 3,63 persen secara tahunan (yoy).


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top