Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Strategi Pembangunan - Presiden Ingatkan Perlu Antisipasi Perubahan Cepat Dunia

Tingkatkan Daya Saing RI untuk Hadapi Gejolak Eksternal

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

>>RI mesti pacu produktivitas, dengan biaya sama bisa hasilkan produk lebih murah.

>>Peranan industri nasional terus turun, ekspor manufaktur hanya sekitar 40 persen.

JAKARTA - Indonesia mau tidak mau harus meningkatkan daya saing global agar bisa keluar dari tekanan ekonomi yang berasal dari faktor eksternal akibat kebijakan Amerika Serikat (AS), seperti perang dagang dan kenaikan suku bunga Bank Sentral AS.

Ekonom Indef, Achmad Heri Firdaus, mengemukakan secara bilateral memang betul Indonesia saat ini menghadapi tekanan dari AS, salah satunya rencana pencabutan fasilitas Generalized System of Preference (GSP).

Fasilitas ini sangat penting karena bila dicabut ekspor Indonesia ke AS bakal terhambat. "Kalau tidak ada fasilitas itu, Indonesia akan sulit ekspor ke sana, karena tarif impornya mahal," kata Heri, di Jakarta, Senin (23/7).

Menurut dia, pencabutan fasilitas tersebut pada dasarnya adalah hak pemerintah AS. Sayangnya, Indonesia seperti terlena setelah sekian lama diberikan fasilitas tersebut. Indonesia lupa, kalau GSP itu tidak diberikan selamanya, sehingga ketika di-review, pemerintah merasa cemas.

"Yang tadinya nggak bayar tarif, besok-besok kita harus kena tarif impor. Akhirnya, kalau kita ekspor ke sana jadi nggak kompetitif," jelas dia.

Meski begitu, menurut Heri, ada beberapa langkah agar bisa keluar dari masalah ini, antara lain negosiasi untuk memperpanjang pemberian fasilitas GSP itu.

"Tapi intinya, harus ada perbaikan daya saing. Itu mutlak. Mau nggak mau, suka nggak suka harus dilakukan oleh Indonesia," tegas dia. Dia menambahkan untuk meningkatkan daya saing, banyak faktor penentunya.

Bahkan, saat ini perlu perbaikan di sektor hulu hingga hilir. Artinya, mulai dari bahan baku, energi, dan harga harus kompetitif.

"Kita harus meningkatkan produktivitas, artinya dengan biaya sama kita menghasilkan produk yang lebih murah dan lebih bagus. Sehingga kita bisa memasuki pasar AS dan bisa bersaing dengan barang-barang asal negara lain," tutur Heri.

Sebelumnya, ekonom senior Indef, Faisal Basri, menilai selain faktor eksternal, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS belakangan ini juga disebabkan industri nasional yang lemah.

"Kenapa bisa seperti ini? Karena peranan industrinya turun, negara lain ekspor industri manufakturnya itu lebih besar, kita cuma 40-an persen," papar Faisal.

Menurut dia, pelemahan industri itu disebabkan perusahaan asing tidak lagi masuk ke industri manufaktur berbasis ekspor, sehingga menyebabkan repatriasi profit perusahaan asing sangat besar.

"Repatriasi profit perusahaan asing luar biasa besar berdasarkan data BI. Current account deficit (defisit transaksi berjalan) kita 17 miliar dollar AS.

Barang masih surplus 27 miliar dollar AS, tapi defisit repatriasi dan bayar bunga itu 33 miliar dollar AS karena asing yang di Indonesia itu tidak lagi di industri manufaktur yang berorientasi ekspor. Jadi, melemahnya rupiah ya karena industrinya semakin melemah," tukas Faisal.

Tekanan Ekonomi

Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan tekanan ekonomi sekarang ini, terutama tekanan dari eksternal, dirasakan semua negara, bukan hanya Indonesia.

Oleh karena itu, Presiden meminta agar Indonesia tidak perlu terlalu khawatir. "Baik yang berkaitan dengan perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, juga yang berkaitan dengan kenaikan suku bunga The Fed di Amerika, yang kita tidak bisa mengintervensi apa pun,"

kata Presiden Jokowi saat bertemu dengan sejumlah wali kota di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin.

"Tetapi yang paling penting, menurut saya, kita tahu apa yang sedang terjadi," ujar Presiden. Presiden Jokowi mengingatkan perlunya langkah antisipasi terhadap perubahanperubahan cepat dunia yang sekarang juga sedang melanda semua negara.

Menurut Presiden, revolusi Industri 4.0 yang perubahannya sudah diprediksi, dan menurut McKinsey Global Institute perubahannya 3.000 kali lebih cepat dari revolusi yang pertama ini harus disadari dan diantisipasi.

"Inilah yang kita harus sadar betul bahwa akan terjadi perubahan besar yang sangat cepat sekali. Sehingga kota-kota juga harus menyiapkan diri dalam mengantisipasi, menyiapkan SDM-SDM (sumberdaya manusia) dalam rangka menghadapi perubahan yang sangat cepat," tutur Presiden.

Kepala Negara meyakini semuanya telah mengetahui mengenai perkembangan teknologi seperti artificial intelligence, internet of things, big data, kemudian penemuan-penemuan yang berkaitan dengan hyperloop, spaceX, dan tesla.

Jika menyadari perkembangan tersebut, lanjut Presiden, semua akan memahami hal yang harus disiapkan untuk menghadapinya. ahm/Ant/WP

Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top