Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Kenaikan Harga I Kebijakan Pemerintah dan BI Ikut Memicu Lonjakan Inflasi

Tidak "Fair", Salahkan Faktor Global Semata sebagai Pemicu Inflasi

Foto : ISTIMEWA

BHIMA YUDISTHIRA Direktur Celios - Inflasi di atas 6–7 persen akan bertahan dalam waktu yang lama, dan berdampak pada aspek kehidupan masyarakat.

A   A   A   Pengaturan Font

» Kebijakan quantitative easing saat pandemi secara tidak langsung membuat likuiditas banjir.

» Penguatan UMKM diperlukan untuk menyerap tenaga kerja sehingga inflasi tidak berubah jadi stagflasi.

JAKARTA - Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dinilai tidak fair karena terkesan melempar tanggung jawab dengan hanya menyalahkan faktor eksternal, terutama ketidakpastian ekonomi global sebagai pemicu kenaikan harga barang dan jasa (inflasi) di dalam negeri. Padahal, selain ada kontribusi dari eksternal, berbagai kebijakan pemerintah sebagai otoritas fiskal dan Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter ikut memicu terjadinya inflasi.

Kebijakan quantitave easing misalnya. Kebijakan moneter nonkonvensional di mana bank sentral meningkatkan jumlah uang yang beredar dengan membeli surat berharga jangka panjang dari pasar terbuka dalam rangka burden sharing (berbagi beban) pemerintah dan BI, saat pandemi Covid-19 itu, secara tidak langsung memompa likuiditas ke dalam perekonomian.

Keputusan pemerintah memperlebar defisit dengan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) rata-rata sembilan ratus triliun rupiah selama tiga tahun berturut-turut, pasti akan melebihi kapasitas produksi barang dan jasa yang cenderung stagnan karena pembatasan orang dan barang akibat pandemi.

Ekonom Senior, Rizal Ramli, pun baru-baru ini mengaku heran dengan sikap pemerintah terutama Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, yang tiba-tiba menyebar ketakutan inflasi, bahkan stagflasi dengan menyalahkan faktor global khususnya geopolitik.

Padahal, kebijakan berutang itulah yang menjadi salah satu pemicunya. Apalagi utang tidak dimanfaatkan untuk memperkuat daya beli masyarakat dan membangun ketahanan pangan.

Bank Indonesia (BI) pun tidak ketinggalan memberi pernyataan pembelaan diri. Selain menyalahkan faktor geopolitik global, otoritas moneter itu bahkan mewanti-wanti pemerintah untuk mewaspadai laju inflasi yang tinggi ke depan.

Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter BI, Wahyu Agung Nugroho, dalam sebuah acara di Gianyar, Bali, mengatakan kenaikan harga bahan bakar minyak akan menambah tingkat inflasi 1,8 hingga 1,9 persen. Dampak putaran kedua dari kenaikan harga BBM pun diperkirakan masih berlanjut hingga 2-3 bulan ke depan yang akan mendorong kenaikan inflasi inti.

Bertahan Lama

Direktur Celios, Bhima Yudisthira, yang diminta pendapatnya mengatakan inflasi di atas 6-7 persen akan bertahan dalam waktu yang lama, dan berdampak pada aspek kehidupan masyarakat.

"Daya beli melemah, suku bunga pinjaman meningkat tajam, pelemahan rupiah, dan terganggunya pemulihan sektor industri pengolahan," kata Bhima.

Menurut Bhima, dalam menghadapi tantangan perekonomian saat ini, persiapan pemerintah tidak bisa tanggung, tetapi harus menjadikan masalah inflasi sebagai objek dari pemulihan ekonomi.

Dia mencontohkan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang surplus 107,4 triliun rupiah pada Agustus, dan harga minyak mentah menurun, idealnya harga BBM jenis subsidi kembali diturunkan.

"Karena BBM punya imbas besar terhadap inflasi maka penurunan harga BBM adalah langkah awal mengendalikan inflasi," ungkap Bhima.

Langkah berikutnya adalah memperkuat daya beli masyarakat lewat perlindungan sosial, yakni anggaran perlindungan sosial yang idealnya 4-5 persen dari PDB atau lebih tinggi dari porsi di RAPBN 2023 yang hanya sekitar 2,5 persen dari PDB.

Selain itu, penguatan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) juga dibutuhkan untuk mencegah inflasi berubah menjadi stagflasi, yakni naiknya inflasi tidak beriringan dengan peningkatan kesempatan kerja. Pengangguran usia muda tahun 2021 ada 16 persen lebih tinggi dibanding 1997 yakni 14,6 persen. Salah satu jalan mengatasi pengangguran adalah dengan mendorong UMKM agar menyerap tenaga kerja secara masif.

Kemudian, di sisi harga pangan, masalah utamanya adalah belum meratanya subsidi pupuk karena alokasi pemerintah baru sepertiga dari total kebutuhan pupuk.

"Idealnya, pemerintah bisa menambah alokasi untuk subsidi pupuk terutama tanaman pangan," katanya.

Hal yang juga perlu diperhatikan adalah rantai pasok yang panjang sebaiknya di intervensi melalui skema Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) langsung membeli dari petani dan mendistribusikan langsung ke konsumen.

"Cara tersebut bisa membuat marjin keuntungan para pedagang besar terpangkas dan menurunkan risiko tengkulak di level petani," kata Bhima.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top