Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

“The Postman from Nagasaki", Film dengan Pesan Mengesankan

Foto : The Postman from Nagasaki Film Partners/Sakamoto A

Film Dokumenter l Isabelle Townsend saat memandangi Teluk Nagasaki dalam film dokumenter “The Postman from Nagasaki”. Film arahan sutradara Mika Kawase ini bercerita soal kenangan seorang pengantar surat penyintas bom atom Nagasaki yang ingin mengingatkan dunia mengenai kengerian yang ditorehkan nuklir.  

A   A   A   Pengaturan Font

Pada 9 Agustus 1945 yaitu hari bom atom meledak di atas Nagasaki, Sumiteru Taniguchi yang saat itu berusia 16 tahun, sedang mengirimkan surat menaiki sepeda sekitar dua kilometer dari pusat ledakan. Ledakan itu melemparnya ke udara, sementara panas dan radiasi membakar menembus kemeja dan masuk ke kulitnya. Ia menderita luka bakar parah di punggung.

Ia dimasukkan ke rumah sakit pada November 1945 dan melewati hampir dua tahun tengkurap di ranjang. Ia dirawat inap selama tiga setengah tahun.Ulkus decubitus(cedera pada kulit dan jaringan di bawahnya akibat tekanan yang berkepanjangan pada kulit) yang timbul di sisi kiri dadanya, tidak pernah pulih sepenuhnya.

Seumur hidupnya, Taniguchi berbicara mengenai dan menunjukkan kepada orang-orang bekas luka merah di punggungnya yang menjadi simbol ketidakmanusiawian senjata nuklir.

Film dokumenter Kawase mempertontonkan Taniguchi menyampaikan pidato di New York dua tahun sebelum berpulang pada usia 88 tahun.

"Untuk menyelamatkan planet biru ini demi generasi mendatang, senjata nuklir harus dimusnahkan," ungkap Taniguchi. "Mari kita bekerja sama guna memusnahkan senjata nuklir. Jangan ada lagi Hiroshima. Jangan ada lagi Nagasaki. Jangan ada lagihibakusha(istilah bahasa Jepang bagi penyintas bom atom). Jangan ada lagi perang," imbuh dia.

Kawase bertemu dengan Taniguchi menjelang akhir hayat pria itu. Kawase mengatakan pria tersebut meninggalkan dampak besar dengan membantunya memahami kengerian sesungguhnya dari pengebomatoman Hiroshima dan Nagasaki.

Dengan makin lanjutnya usia Taniguchi, Kawase merasakan adanya desakan dan tugas untuk menyebarkan kisah Taniguchi. Kawase pun pergi bersama Taniguchi ke New York pada 2015 untuk menghadiri Konferensi Pakta Nonproliferasi Senjata Nuklir PBB.

"Kondisi kesehatan Taniguchi saat itu tidak baik," kenang Kawase. "Ia batuk sepanjang waktu, meski demikian ia pergi jauh-jauh ke New York untuk menyebarluaskan pesannya. Bom-bom atom itu berdampak besar bagi orang-orang yang menjalani kehidupan normal, seperti kita. Bom 77 tahun lalu membuktikan tindakan itu tidak pernah boleh terulang. Orang-orang yang menyadarinya harus mengangkat suaranya dan mengutarakan pemikirannya dalam cara tertentu," imbuh dia.

Terinspirasi Buku

Film dokumenter itu terinspirasi oleh sebuah buku yang diterbitkan pada 1984. Penulisnya, Peter Townsend, adalah pilot Angkatan Udara Kerajaan Inggris selama Perang Dunia II, yang dikenal atas hubungan asmaranya dengan adik perempuan Ratu Elizabeth II, Putri Margaret.

Townsend menghabiskan banyak tahun-tahun akhir kehidupannya sebagai penulis nonfiksi, dengan memfokuskan pada perang dan dampaknya terhadap manusia.

Ia jadi tertarik akan Nagasaki dan bertemu dengan Taniguchi saat melawat pada awal 1980-an. Townsend sangat tergugah oleh pengalaman Taniguchi.

Anak perempuan Townsend, Isabelle, muncul dalam film dokumenter tersebut. Ia mengunjungi Nagasaki untuk mengetahui lebih banyak mengenai penderitaan dan kekuatan Taniguchi.

Isabelle berbicara mengenai cerita singkat berpengaruh yang Taniguchi sampaikan kepada Townsend. Ketika pada suatu hari penyintas bom atom itu datang ke sebuah pantai bersama dua anaknya, putrinya melihat parut bekas luka di punggung Taniguchi dan mulai menangis. Hal itu memperkuat tekad Taniguchi untuk menyebarluaskan kengerian yang ia telah alami dan saksikan, dimulai dari keluarganya sendiri.

Dalam bukunya, Townsend menyampaikan kembali dengan kata-katanya sendiri apa disampaikan Taniguchi kepada anak-anaknya pada hari itu di pantai tersebut.

"Saat saya masih kecil badan saya sama seperti badan kalian dan orang-orang lainnya. Lalu, ketika saya masih remaja pada usia 16 tahun, satu benda yang disebut bom atom mengakibatkan kebakaran buruk di Nagasaki dan membakar habis sebagian besar kota itu. Ribuan orang, sebagian semuda kalian, tewas dan terbakar. Saya adalah salah satunya. Tidak satu pun dari kami yang telah melakukan hal yang salah. Kesalahan dilakukan oleh orang-orang lain terhadap kami. Orang-orang seperti saya disebuthibakusha. Kami adalah orang-orang yang terluka oleh bom atom membara itu tetapi masih hidup. Kami ingin semua orang lainnya melihat betapa buruknya bom melukai dan membakar tubuh kami dan dengarkanlah kami, karena hanya kami yang dapat menyampaikan betapa buruknya bom atom."

Kawase meyakini terpulang kepada generasi selanjutnya untuk menjaga pesan Taniguchi dan merampungkan upayanya yang belum selesai,

"Saya merasa berlari di atas rel yang diletakkan oleh Townsend dan Taniguchi. Para pelajar berpikir dengan sedemikian serius, mencoba begitu kuat untuk menuangkan pikirannya ke dalam kata-kata dan hal itu bagus sekali. Mereka membuat saya memiliki harapan bagi masa depan," ucap dia. NHK/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Ilham Sudrajat

Komentar

Komentar
()

Top