Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

TGIPF Dinilai Gagal Tindak 'Aktor Berpangkat Tinggi' dalam Tragedi Kanjuruhan

Foto : REUTERS/Willy Kurniawan

Kapolri Listyo Sigit Prabowo berbicara saat konferensi pers usai mengunjungi Stadion Kanjuruhan, Malang, provinsi Jawa Timur, pada Minggu (2/10).

A   A   A   Pengaturan Font

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyayangkan hasil laporan investigasi Tragedi Kanjuruhan yang disusun oleh Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF).

Investigasi TGIPF dinilai KontraS tidak memberikan kesimpulan dan rekomendasi dengan tegas terkait dugaan kejahatan sistematis yang dilakukan aparat keamanan sehingga menyebabkan 133 orang meninggal dalam Tragedi Kanjuruhan. Pasalnya, menurut KontraS terdapat sejumlah fakta yang mengarah pada aktor high level yang berpotensi melakukan pelanggaran HAM berat.

"TGIPF seharusnya sejak awal mengkonstruksikan tragedi kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM yang berat, bukan sebagai pidana biasa. Hal ini dikarenakan didasari fakta-fakta yang ada, diduga terjadi serangan secara sistematik oleh aparat keamanan terhadap penduduk sipil yang berpotensi terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana ditegaskan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia," tulis Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti, seperti dikutip Koran Jakarta pada Rabu (19/10).

Tak hanya itu, KontraS menilai adanya unsur ketidaktegasan TGIPF dalam memberikan poin desakan tampak dari rekomendasi yang ditujukan kepada institusi keamanan, yaitu institusi Polri dan TNI. KontraS menyebut TGIPF yang diketuai oleh Mahfud MD itu seolah-olah menutup mata bahwa ada pertanggungjawaban hukum atasan dalam penggunaan kekuatan.

"TGIPF dalam laporannya menyebutkan adanya dugaan penembakan gas air mata yang dilakukan di luar komando. Padahal dalam konteks doktrin pertanggungjawaban komando, meskipun penggunaan kekuatan tidak berdasarkan atas perintah atasan, komandan atau pimpinan dari kesatuan tersebut tetap bertanggung jawab secara hukum, sebab berdasarkan wewenang yang dimilikinya tidak melakukan upaya kontrol dan pencegahan sedemikian rupa kepada bawahannya sehingga mengakibatkan korban jiwa," lanjut KontraS.

Tidak hanya soal pertanggungjawaban hukum atasan, KontraS juga menyoroti adanya dugaan tindak obstruction of justice yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian. Hal tersebut diperoleh KontraS dari keterangan sejumlah pihak yang diperoleh TGIPF yang pada intinya menyatakan CCTV di areal stadion dilarang untuk diunduh dan diduga ada upaya dari kepolisian untuk mengganti rekaman dengan yang baru.

"Hal tersebut sejalan dengan temuan TGIPF yang menyatakan hilangnya durasi rekaman CCTV yang kemudian menyulitkan TGIPF dalam melakukan penelusuran fakta. Namun demikian, anehnya TGIPF tidak menjadikan temuan tersebut sebagai poin desakan untuk dapat diselidiki lebih lanjut. Padahal dugaan tindak obstruction of justice merupakan bagian dari tindak kejahatan yang harus diusut secara tuntas," ujar KontraS.

Selain institusi Polri, TGIPF dinilai KontraS tidak begitu tegas terhadap desakannya pada institusi TNI.

KontraS menuturkan TGIPF dalam poin desakannya tidak mengurai pertanggungjawaban komando yang seharusnya ikut bertanggung jawab secara hukum terkait peristiwa kekerasan yang terjadi. Padahal merujuk laporan TGIPF, diketahui Pangdam V/Brawijaya mengerahkan 361 prajurit BKO untuk mengamankan pertandingan Arema vs Surabaya berdasarkan Surat Tugas Nomor: ST/1279/2022 tertanggal 26 juli 2022.

"Berkaitan dengan keputusan Pangdam V/Brawijaya yang mengerahkan para prajuritnya, kami memberikan catatan khusus karena diduga melanggar Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Pertama, TNI tidak memiliki tugas dalam pengamanan pertandingan olahraga. Kedua, bahwa yang berwenang mengerahkan prajurit TNI adalah Presiden dengan persetujuan DPR RI. Tetapi, sayangnya masalah tersebut tidak dijadikan sebagai poin yang seharusnya dievaluasi lebih lanjut," jelas KontraS.

Atas dasar itu, KontraS berpendapat TGIPF tampak tidak tegas mengingat kesimpulan dan berbagai rekomendasi yang dibuat tidak mengarahkan tragedi kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM yang berat.

"Kami khawatir hal tersebut berdampak pada tidak tuntasnya penyelesaian dugaan kejahatan sistematis yang terjadi di Stadion Kanjuruhan beberapa waktu lalu," lanjutnya.


Editor : Fiter Bagus
Penulis : Suliana

Komentar

Komentar
()

Top