“Tes Keperawanan'
Female troops parade during a ceremony marking the 74th anniversary of the Indonesian military at Halim air force base in Jakarta on October 5, 2019.
Foto: BAY ISMOYO / AFPTNI AD membuat gebrakan dengan adanya aturan baru atau aturan teknis terkait pemeriksaan kesehatan atau uji badan bagi calon Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad). Dalam aturan baru yang sudah dituangkan dalam juknis pemeriksaan kesehatan uji badan TNI AD nomor B/1372/VI/2021 tanggal 14 Juni 2021 tersebut, "tes keperawanan" yang kontroversial itu dihapus.
Dengan aturan baru tersebut, para wanita yang mengikuti tes masuk menjadi anggota Kowad, tidak lagi dilakukan "tes keperawanan". Selain itu kata himen atau selaput dara, dihilangkan dalam formulir pemeriksaan.
Dalam aturan baru itu, privasi terhadap calon Kowad saat pemeriksaan kesehatan juga lebih dihargai. Caranya dengan membatasi jumlah orang di ruangan pemeriksaan, hanya terdiri dari dokter obgyn, satu orang bidan, dan calon Kowad yang akan diperiksa.
Tidak hanya bagi calon Kowad, pemeriksaan selaput dara juga tidak lagi berlaku untuk para calon isteri prajurit TNI AD. Untuk calon tentara saja dihapus, apalagi untuk calon isteri prajurit.
Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Andika Perkasa, pertengahan Agustus lalu mengatakan bahwa aturan baru ini sudah diterapkan sejak Mei 2021 dalam penerimaan Bintara di setiap Komando Daerah Militer (Kodam). Hal itu merupakan bagian dari perubahan untuk kemajuan TNI AD.
Langkah maju TNI AD yang meniadakan lagi "tes keperawanan" dalam penerimaan Kowad patut kita sambut gembira karena ini adalah kemenangan bagi semua orang, bukan hanya bagi perempuan. Ini juga bentuk kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Kesetaraan untuk mempunyai hak yang sama, kesempatan yang sama, pangkat yang sama, dan juga karir yang sama.
Lebih menggembirakan lagi,"tes keperawanan" juga tidak ada di matra lain, baik itu TNI AL dan TNI AD. Yang ada hanya tes kesehatan reproduksi wanita dan tes kesehatan tulang.
Memang "tes keperawanan" sudah seharusnya tidak diberlakukan lagi di segala bentuk persyaratan penerimaan, baik itu penerimaan masuk kerja seperti di lingkungan TNI, penerimaan masuk suatu organisasi, dan juga penerimaan mahasiswa. Menurut Peneliti Human Rights Watch Indonesia, Andreas Harsono dalam status di media sosialnya, "tes keperawanan" itu tidak ilmiah.
Hal ini diperkuat lagi dengan pernyatan Badan Kesehatan Dunia (WHO) bahwa "tes keperawanan" tidak bisa membuktikan apakah seseorang perempuan atau laki-laki pernah berhubungan seksual.
"Tes keperawanan" itu sangat merendahkan perempuan, diskriminatif, dan membuat trauma. Kita bisa membayangkan betapa hancurnya seseorang yang tidak diterima dalam tes masuk suatu pekerjaan karena dia gagal dalam "tes keperawanan". Itu sangat menghacurkan masa depannya. Belum lagi tambahan sanksi sosial yang sangat kejam.
Tes kesehatan itu ya memeriksa kesehatan seseorang, misalnya kesehatan fisiknya, bukan yang lain-lain. Dengan kondisi fisik yang ia miliki, mampu tidak orang tersebut menjalankan tugas-tugas yang nanti diembannya. Karena itu, tidak ada salahnya kita melihat tes kesehatan dalam penerimaan calon pekerja di negara maju, untuk perbandingan.
Redaktur: Aloysius Widiyatmaka
Penulis: M. Selamet Susanto
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Regulasi Baru, Australia Wajibkan Perusahaan Teknologi Bayar Media Atas Konten Berita
- 2 Ini yang Dilakukan Pemkot Jaksel untuk Jaga Stabilitas Harga Bahan Pokok Jelang Natal
- 3 RI Harus Antisipasi Tren Penguatan Dollar dan Perubahan Kebijakan Perdagangan AS
- 4 Terapkan SDGs, Perusahaan Ini Konsisten Wujudkan Sustainability Action Plan
- 5 Segera diajukan ke Presiden, Penyederhanaan Regulasi Pupuk Subsidi Masuk Tahap Final