Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
catatan akhir tahun

Terorisme Masih Menjadi Ancaman di Tanah Air

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Tahun 2018 akan berakhir dalam beberapa hari lagi. Indonesia segera memasuki tahun 2019. Pada tahun 2019, aparat penegak hukum hendaknya mewaspadai terorisme dari kelompok separatis. Dalam menangani aksi terorisme sepanjang tahun 2018, Densus 88 Antiteror sudah terbilang bagus dalam menanganinya.

Densus 88 Antiteror sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam menghadapi aksi-aksi teror sudah mampu mendeteksi plot-plot teroris atau rencana aksi teroris. Jadi sebelum kejadian, Densus sudah mampu mengantisipasinya. Ini prestasi tersendiri, karena baru Densus yang bisa melakukan hal tersebut.

"Sudah bagus dalam menangani aksi terorisme," kata pengamat terorisme Al Chaidar menjawab pertanyaan Koran Jakarta, baru-baru ini saat diminta tanggapannya seputar proyeksi ancaman terorisme ke depan.

Menurut Al Chaidar, untuk ke depan atau tahun 2019, Densus harus terus mewaspadai terorisme yang dilakukan kelompok separatis, seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang ada di Papua, akan terus menjadi ancaman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tidak hanya OPM, kelompok separatis seperti Republik Maluku Selatan (RMS), diam-diam akan menjadi "duri dalam daging" bagi pemerintah Indonesia. Yang menarik, Al Chaidar juga menyinggung soal kelompok Paraku di Kalimantan. Jangan lupa, kelompok Paraku juga dapat menjadi kendala bagi pemerintah dalam menjaga keamanan dalam negeri.

Kelompok-kelompok separatis ini melakukan teror untuk menunjukkan eksistensi mereka kepada pemerintah. "Jadi, separatis kedaerahan akan mewarnai keamanan dalam negeri di tahun 2019," ujar Al Chaidar.

Selain kelompok separatis, Densus juga harus mewaspadai familia teror atau teror yang dilakukan satu keluarga. "Tercatat sudah ada tiga kejadian yang terjadi di Surabaya dan Sidoarjo. Di Surabaya ada dua kasus dan satu di Sidoarjo," tukas Al Chaidar.

Sulit Terlacak

Bukan tidak mungkin, tambah Al Chaidar, familia teror ini akan terjadi lagi di tahun 2019. Familia Teror ini terbilang sulit terlacak karena menggunakan aplikasi tersembunyi untuk saling terkoneksi dengan anggota jaringan lain. Mereka menggunakan aplikasi telegram dan game untuk saling berkomunikasi.

Aplikasi game digunakan jaringan teroris karena sulit terlacak. "Bagaimana bisa dilacak, kalau mereka berpura pura bermain game antarmereka sendiri? Padahal sambil main game, mereka memasukkan kode-kode untuk berkomunikasi," kata Al Chaidar.

Karena itu, Densus harus mampu mengantisipasi penggunaan game untuk mereka berkomunikasi. Familia teror ini sulit ditembus karena mereka sudah terdoktrin untuk melakukan teror. "Mereka ini didoktrin oleh Jemaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), dan Jamaah Ansarud Daulah (JAD). Jadi sudah dicuci otak sehingga sulit berubah pendiriannya dan fokus dalam menjalankan tujuannya," tukas Al Chaidar.

Kelompok-kelompok seperti JI, JAT, dan JAD inilah yang diduga kuat akan tetap jadi bagian teror yang beraksi di tahun 2019. Untuk itu, tambah Al Chaidar, Densus harus mampu mengatasi jaringan-jaringan ini di tahun 2019. Apalagi tahun 2019 akan ada pesta demokrasi seperti pilpres dan pileg.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Suhardi Alius, mengatakan dalam satu dekade terakhir, ada empat jaringan teroris yang aktif melakukan teror. "JI, JAT, JAD, dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) dan sel-sel di bawahnya (aktif melakukan aksi teror)," kata Suhardi.

Keempat jaringan teroris itu secara nyata mengajarkan paham-paham radikalisme. Sebagai alat penyebar paham radikal mereka adalah media sosial. "Media sosial itu alat radikalisasi yang paling mudah digunakan," tukas Suhardi.

Untuk ke depan harus terus diwujudkan pemberian ganti rugi oleh negara bagi mereka yang menjadi korban dari aksi terorisme ini. Apa yang dilakukan

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) belum lama ini menyerahkan kompensasi untuk korban terorisme Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) patut untuk diteruskan.

Seperti disampaikan Antara, LPSK menyerahkan ganti rugi dari negara sebesar 613.079.624 rupiah kepada tiga korban tindak pidana terorisme di Gereja St Lidwina, Bedog, Kabupaten Sleman, DIY, yang terjadi pada Februari 2018. Penyerahan kompensasi itu dilakukan Wakil Ketua LPSK, Lili Pintauli Siregar, kepada ketiga korban yakni Budiono, Yohanes, dan Martinus Parmadi, di Kepatihan, Yogyakarta.

"Setelah melalui proses hukum di pengadilan, berdasarkan putusan PN Jakbar yang menyidangkan perkara ini, para korban mendapatkan hak berupa kompensasi" kata Lili.

Menurut Lili, selain sebagai salah satu hak korban, kompensasi tersebut juga menjadi wujud nyata hadirnya negara bagi korban. Ini sekaligus menunjukkan bahwa sistem hukum tidak hanya mementingkan hak-hak tersangka, terdakwa, dan terpidana (offender oriented) serta menghukum pelaku.

N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto

Komentar

Komentar
()

Top