Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Terlalu Banyak "Ongkos" Bikin Investor Enggan Masuk ke Indonesia

Foto : istimewa

Ilustrasi

A   A   A   Pengaturan Font

Sering kali kita mendengar istilah Ease of Doing Business (EoDB), yaitu indeks yang dibuat oleh Bank Dunia guna mengurutkan negara-negara global berdasarkan tingkat kemudahan berbisnisnya. Proyek Bank Dunia ini telah diterapkan sejak 2002 dan laporan pertamanya terbit di 2003.

Pada mulanya, peringkat EoDB diberikan berdasarkan lima kelompok indikator dari 133 kegiatan ekonomi yang dinilai. Namun dalam perkembangannya, kini penilaiannya menggunakan 10 kelompok indikator untuk 190 kelompok bisnis.

Tujuan penilaian kemudahan berbisnis ini sendiri adalah untuk memberikan dasar yang objektif kepada para pelaku pasar tentang kemudahan berusaha di suatu negara. Harapan lebih lanjutnya, pemerintah bisa merespons dengan baik hasil penilaian EoDB tersebut melalui kebijakan yang tepat.

Semakin rendah peringkat EoDB suatu negara, semakin menarik negara tersebut di mata investor. Karena itu, pemerintah menargetkan kemudahan berusaha atau EoDB di Indonesia pada tahun 2021 naik dari peringkat ke-73 menuju ke-40 dunia. EoDB Indonesia sebenarnya pernah berada di posisi 72 pada 2018, setelah itu tidak pernah membaik bahkan kini turun di peringkat 73.

Makanya tidak mengherankan jika dalam berbagai forum internasional, Presiden Joko Widodo dalam pidatonya selalu menggunakan kesempatan tersebut untuk mengundang investor menanamkan modalnya di Indonesia. Di sela-sela pertemuan G20 di Roma (Italia) maupun pada KTT Perubahan Iklim di Glasgow (Inggris) misalnya, Presiden juga mengadakan pertemuan bilateral agar lebih banyak lagi investor asing menanamkan modalnya di Indonesia.

Bahkan seusai KTT G20 dan KTT Perubahhan Iklim belum lama ini, sebelum balik ke Tanah Air, Joko Widodo secara khusus mengunjungi Uni Emirat Arab (UEA). Kunjungan tersebut menghasilkan komitmen bisnis dan investasi senilai 32,7 miliar dollar AS.

Meski demikian, perkembangan Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Sepanjang 2019, realisasi investasi PMA sebesar 423,1 triliun rupiah. Di 2020, angkanya turun ke 412,8 triliun rupiah.

Bisa jadi pandemi Covid-19 menjadi penyebabnya. Namun yang jelas, bila dibandingkan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), memang terjadi penurunan di PMA. Lihat saja, di 2019, realisasi PMDN hanya 386,5 triliun rupiah, namun di 2020 meningkat pesat menjadi 413,8 triliun rupiah, mengalahkan realisasi PMA di tahun yang sama.

Lantas, apa yang menjadi penyebab Indonesia bukan pilihan utama bagi negara-negara kaya untuk menanamkan modalnya? Mengapa PMA di 2020 justru turun dibanding 2019 meski "karpet merah" telah digelar? Lantas, kenapa peringkat EoDB tidak beranjak naik, bahkan turun setingkat di posisi ke-73. Padahal sedikitnya ada 26 peraturan disiapkan pemerintah agar investor asing berbondong-bondong masuk Indonesia.

Bisa jadi pemerintah telah berbuat sekuat tenaga untuk menaikkan peringkat EoDB Indonesia dan meningkatkan realisasi PMA. Jika kenyataannya justru turun, bisa jadi karena untuk menanamkan modal di Indonesia terlalu banyak "ongkos" yang harus dikeluarkan seperti dikemukakan Presiden Joko Widodo pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, akhir pekan lalu. Ini bukan soal peraturan perundangan, tetapi ini ulah oknum-oknum yang selalu rakus dan tidak puas dengan gaji sebesar apa pun yang diterima.

"Ongkos" atau uang sogokan merupakan bagian dari korupsi. Investor akan berpikir seribu kali untuk menanamkan modalnya di negara yang korup. Kalau mau negara maju dan banyak investasi masuk ke Indonesia, kita harus berantas tuntas korupsi di Indonesia.


Redaktur : Koran Jakarta
Penulis : Koran Jakarta

Komentar

Komentar
()

Top