Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus

Terjadinya Tren Peningkatan Konsumsi

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Konsumsi makanan olahan yang mengandung lemak jenuh tinggi dan pengawet meningkat meski tidak sehat. Di Amerika Serikat (AS) konsumsi makanan olahan telah meningkat selama dua dekade terakhir di hampir semua segmen populasi.
Studi baru yang dilakukan Fakultas Kesehatan Masyarakat, New York University (NYU) menyebutkan, konsumsi makanan ultra olahan telah meningkat selama dua dekade terakhir di hampir semua segmen populasi AS.
"Komposisi keseluruhan dari rata-rata diet AS telah bergeser ke diet makanan yang melalui pemrosesan lebih tinggi," ujar asisten profesor di NYU dan penulis utama studi tersebut Filippa Juul, seperti dikutip Science Daily edisi 14 Oktober.
Menurut Juul kondisi yang terjadi di AS baginya memprihatinkan, karena makan makanan olahan dikaitkan dengan kualitas diet yang buruk dan risiko lebih tinggi dari beberapa penyakit kronis, seperti jantung, diabetes, kanker, dan lainnya.
Konsumsi makanan olahan yang meningkat di abad ke-21 dan menjadi pendorong utama epidemi obesitas. Makanan olahan yang diproduksi secara industri dalam bentuk siap makan atau panas, dengan zat aditif, dan sebagian besar disajikan tanpa makanan utuh.
Pada studi yang diterbitkan pada American Journal of Clinical Nutrition, Juul dan rekan-rekannya menganalisis data makanan dari hampir 41.000 orang dewasa yang mengambil bagian dalam Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) dari 2001 hingga 2018.
Para peserta ditanya apa yang mereka makan di 24 jam terakhir, dan para peneliti mengurutkan makanan yang dilaporkan ke dalam empat kategori beberapa kategori seperti makanan olahan minimal (whole food), seperti sayuran, buah-buahan, biji-bijian, daging, dan produk susu. Bahan kuliner olahan, seperti minyak zaitun, mentega, gula, dan garam.
Kategori lainnya adalah makanan olahan, seperti keju, ikan kaleng, dan kacang kaleng. Kategori lainnya adalah makanan ultra-olahan, seperti pizza beku, soda, makanan cepat saji, permen, camilan asin, sup kalengan, dan sebagian besar sereal sarapan.
Para peneliti kemudian menghitung persentase kalori yang dikonsumsi dari setiap kelompok makanan. Konsumsi makanan olahan tumbuh dari 53,5 persen kalori pada awal periode penelitian (2001-2002) menjadi 57 persen pada akhir (2017-2018).
Asupan makanan siap saji atau panas, seperti makan malam beku, meningkat paling tinggi. Sebaliknya, konsumsi makanan utuh menurun dari 32,7 persen menjadi 27,4 persen kalori, sebagian besar karena orang yang makan lebih sedikit daging dan susu.
Mengingat meningkatnya asupan makanan olahan di AS dan semakin banyak bukti yang menghubungkan makanan ini dengan penyakit kronis, para peneliti merekomendasikan penerapan kebijakan untuk mengurangi konsumsinya. Dengan pedoman diet yang direvisi, pembatasan pemasaran, perubahan label kemasan, dan pajak soda dan makanan olahan lainnya.
"Ilmu gizi cenderung berfokus pada kandungan gizi makanan dan secara historis mengabaikan implikasi kesehatannya dari industri pengolahan makanan," kata Juul.
Pada masa pandemi Covid-19, kata dia terdapat indikasi peningkatan konsumsi makanan yang kurang bergizi dan awet. Mereka belanja lebih banyak untuk mengurangi waktu keluar rumah, dengan membeli makanan olahan seperti makaroni dan keju kotak, sup kalengan, dan makanan ringan. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top