Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Strategi Pembangunan - Perang Dagang dan Penurunan Daya Saing Jadi Tantangan

Tekan Defisit Transaksi Berjalan dengan Reindustrialisasi

Foto : Sumber: Bank Indonesia – Litbang KJ/and
A   A   A   Pengaturan Font

>> Masalah CAD muncul karena industri bergantung pada bahan baku impor hingga 75 persen.

>> Tanpa perubahan struktural, sulit capai target pertumbuhan investasi di level 7 persen.

JAKARTA - Sebagai upaya mengatasi masalah besar perekonomian Indonesia, yakni defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) yang telah menahun, pemerintah perlu melakukan perubahan struktural menuju reindustrialisasi berbasis bahan baku lokal.

Peneliti Indef, Eko Listyanto, mengemukakan reindustrialisasi ke depan mesti bertumpu pada sektor-sektor yang bahan bakunya tersedia dan diproduksi di dalam negeri. Sebab, hal ini tidak hanya akan mendorong nilai tambah, tetapi juga menguatkan neraca perdagangan dan nilai tukar rupiah.

Menurut dia, masalah defisit transaksi berjalan muncul salah satunya karena industri di Indonesia sangat bergantung pada bahan baku dan bahan penolong impor, hingga sekitar 75 persen. Akibatnya, ketika permintaan naik seperti menjelang Lebaran, impor bahan baku dan penolong juga ikut melonjak tajam

"Dan big push dalam waktu yang relatif lebih cepat yaitu dengan upaya serius reindustrialisasi, menata ulang kebijakan sektor pertanian, serta mengoptimalkan sektor jasa pariwisata dan ekonomi kreatif," papar dia, ketika dihubungi, Senin (27/5).

Eko juga mengingatkan tantangan pemerintah pada tahun ini dan tahun depan akan makin besar karena memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS)-Tiongkok dan daya saing industri nasional yang masih stagnan bahkan, cenderung turun.

"Tidak ada jalan lain untuk memperbaiki pertumbuhan ekonomi dan memangkas defisit perdagangan dan juga CAD, kecuali melakukan perubahan struktural itu," tukas dia.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memaparkan Indonesia mempunyai masalah besar yang belum terpecahkan sejak lama, yakni neraca transaksi berjalan yang selalu defisit. Ini terjadi karena ekspor dan investasi tidak pernah meningkat, bahkan neraca perdagangan selalu defisit.

Menurut Presiden, masalah defisit transaksi berjalan mesti menjadi perhatian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dan asosiasi lainnya.

"Kuncinya hanya dua, yakni peningkatan ekspor dan kedua investasi yang harus meningkat," ujar Jokowi, di acara silaturahmi nasional dan buka puasa bersama Hipmi, di Jakarta, Minggu (26/5).

Menanggapi hal itu, Eko menggarisbawahi capaian investasi selama era Presiden Jokowi yang belum mampu tumbuh sesuai target 7 persen. Sementara itu, pada skenario pertumbuhan 2020, pemerintah menghendaki Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi mampu tumbuh 7,0-7,4 persen. Ini jelas sulit dicapai kalau tidak ada perubahan struktural.

"Negara-negara dengan jumlah penduduk besar memang porsi konsumsi yang salah satunya ditopang oleh impor, juga akan besar. Namun, hal tersebut tidak menjadi masalah jika laju komponen lain seperti ekspor dan investasi lebih kencang dari konsumsi," jelas dia.

Eko menilai Tiongkok adalah contoh ideal, dengan komposisi PDB 2017 terdiri atas 39,1 persen konsumsi rumah tangga, sekitar 14,6 persen konsumsi pemerintah, 43,3 persen investasi, 19,6 persen ekspor, dan -17,7 persen impor.

"Jadi di Tiongkok, meskipun penduduknya terbesar di dunia dan pasti konsumsinya besar, namun ternyata kontribusi dari investasi masih jauh lebih besar lagi. Nah, di kita investasi susah sekali digenjot sehingga defisit melebar," tutur dia.

Kendala Investasi

Eko juga mengatakan One Stop Service yang belum terintegrasi antara pusat dan daerah terutama tata ruang wilayah yang belum final, dan sumber-sumber likuiditas sektor keuangan cenderung masuk ke kegiatan ekonomi jangka pendek seiring dengan laju pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang lebih rendah dari laju kredit. Artinya, aliran kredit ke investasi jangka panjang, seperti pendirian pabrik, sulit diharapkan naik.

"Pemerintah mesti serius menghilangkan hambatan investasi di daerah. Sebagian besar keluhan investasi berkaitan dengan kendala di daerah. Selain itu, menyangkut aspek ketenagakerjaan, baik ketersediaan tenaga kerja yang memiliki skill memadai, dan kepastian pengupahan," papar Eko.

Adapun di sisi sektoral, lanjut dia, target laju industri pengolahan di tahun depan sebesar 5,0-5,5 persen juga akan menjadi tantangan. Sebab, selama 2018 industri pengolahan tumbuh flat di 4,3 persen. YK/Ant/WP

Penulis : Eko S, Antara

Komentar

Komentar
()

Top