Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelompokan Negara I RI Butuh Keajaiban untuk Jadi Negara Berpendapatan Tinggi

Tanpa Reformasi Struktural RI Hanya Tunggu Keajaiban

Foto : JAY DIRECTO/AFP

Lebih sulit I Kepala Ekonom Grup Bank Dunia, Indermit Gill mengatakan, masa depan akan lebih sulit bagi Indonesia, negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara.

A   A   A   Pengaturan Font

Laporan tersebut menemukan bahwa ketika negara-negara menjadi lebih kaya, mereka biasanya terjebak dalam 'perangkap' yaitu sekitar 10 persen dari PDB tahunan AS per kapita atau setara dengan 8.000 dollar AS untuk saat ini. Dari sejumlah kecil negara yang berhasil mencapai status berpendapatan tinggi sejak tahun 1990, lebih dari sepertiganya merupakan penerima manfaat dari integrasi ke dalam Uni Eropa atau dari minyak yang belum ditemukan sebelumnya.

Menanggapi pernyataan perlunya keajaiban bagi Indonesia untuk keluar dari middle income trap, pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Ahmad Maruf, mempertanyakan sikap Bank Dunia. Selama ini Bank Dunia memberi angin surga, tetapi pada akhirnya menyampaikan kondisi yang sesungguhnya. "Bank Dunia harusnya sudah menyampaikan hal ini belasan tahun lalu. Kita diberi angin surga, dipoles seakan- akan kita menuju negara maju.

Kita sendiri tidak ada yang membangun fondasi untuk keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah. Tanpa reformasi struktural seperti reformasi fiskal, reformasi kemandirian pangan, reformasi industri, dan reformasi sumber daya manusia, hanya keajaiban yang bisa membawa Indonesia keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah," kata Maruf. Adapun kelompok kelas menengah, menurut standar Bank Dunia 2024, mencakup masyarakat dengan pengeluaran berkisar 2.040.262 hingga 9.909.844 rupiah per kapita per bulan pada 2024.

Menurut Maruf, standar BPS dengan pengeluaran dua juta rupiah per kapita per bulan bukan sebagai penghasilan kelas menengah, tetapi miskin. "Itu bukan penghasilan kelas menengah, itu miskin. Kelas menengah seharusnya memiliki daya beli yang lebih dari sekadar bertahan hidup," tegas Maruf.

Impor Pangan
Halaman Selanjutnya....


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top