Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Keuangan Parpol - Fitra Temukan Tata Kelola Keuangan Partai Tak Transparan

Tambah Bantuan ke Partai Tak Jamin Korupsi Hilang

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah berencana menaikkan bantuan keuangan bagi partai politik dari 108 rupiah per suara menjadi 1.000 rupiah per suara. Jika disimulasikan, pemerintah harus mengeluarkan anggaran 124,92 miliar rupiah kepada 12 partai peserta pemilu tahun 2014 dalam APBNP 2017 atau APBN 2018. Namun, penambahan bantuan itu tak menjamin praktik korupsi akan hilang.

"Sebagai catatan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), pernah melakukan permohonan dokumen terkait laporan keuangan seluruh Parpol yang bersumber dari APBN/APBD pada tahun 2016, hasilnya banyak parpol yang tidak bisa memberikan laporan keuangan tersebut," kata Deputi Sekjen Fitra, Apung Widadi, di Jakarta, Jumat (7/7).

Menurut Apung, itu setidaknya jadi bukti bahwa tata kelola bantuan keuangan partai masih tidak transparan, justru dikorupsi. Dalam analisis Fitra, ada beberapa kasus korupsi dari tidak transparannya tata kelola bantuan dana bagi partai, seperti yang terjadi di Kabupaten Karimun tahun 2012.

Berdasarkan LHP BPK tahun 2014 ditemukan 4 partai politik yang belum menyerahkan laporan pertanggung jawaban tahun anggaran 2012 sebesar 196.264.077 rupiah. "Korupsi dana partai politik juga terjadi di Jepara. Kasus yang menjerat mantan bupati Jepara, di mana pada tahun anggaran 2011-2012 diduga menyalahi dana bantuan parpol untuk tunjangan hari raya (THR) pengurus. Negara dirugikan 79 juta rupiah," ujar Apung.

Belum Buat Laporan

Pada tahun anggaran 2006, lanjut Apung, berdasarkan audit BPK pada Kementerian Dalam Negeri ditemukan tiga DPP yang belum membuat laporan secara legkap dan sah senilai 125 juta rupiah. Menurut dia, kenaikan dana partai tidak akan menghilangkan masalah korupsi politik. Partai belum membangun sistem transparansi dan akuntabilitasnya.

Dana itu hanya untuk operasional kantor, sedangkan korupsi politik untuk aktivitas politik praktis seperti kampanye dan pemilu. "Jadi lebih baik batalkan kenaikan dana parpol itu agar APBN tidak semakin defisit," katanya. Sementara itu, peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Sjafrina, mengatakan menaikkan bantuan negara untuk partai bukan wacana baru. Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, sebelumnya telah melempar isu beserta perkiraan besaran kenaikan sejak 2015.

Bahkan, kenaikan pernah diwacanakan satu triliun rupiah per partai. Wacana tersebut kemudian timbul tenggelam dengan pertimbangan kemampuan keuangan negara dan kuatnya penolakan publik. "Memberikan suntikan dana negara lebih besar kepada partai berangkat dari adanya masalah keuangan partai," ujar Almas. Partai, kata Almas, memang membutuhkan dana besar untuk menjalankan operasional tugas dan fungsinya.

Tapi mereka terbatas dalam mengumpulkan sumber legal keuangan. Sumber utama masalah adalah macetnya iuran anggota dan donasi publik yang di antaranya disebabkan tidak optimalnya peran dan buruknya citra partai. Persoalan keuangan tersebut kemudian melahirkan sejumlah persoalan. Persoalan pertama, partai politik berada pada cengkeraman oligarki dan pendonor dalam jumlah besar yang mengganggu kemandirian partai.

"Persoalan kedua, meuangan partai menjadi ruang rahasia yang dikelola dengan mengabaikan prinsip transparansi dan akuntabilitas kepada publik," ujarnya. Persoalan ketiga, lanjut Almas, kebijakan partai rawan berorientasi pada kepentingan oligarki dan pendonor. Ini akibat ketergantungan keuangannya yang tinggi.

Keempat, rekrutmen pimpinan partai, calon peserta pemilu, dan pejabat publik utamanya didasarkan pada kemampuan keuangan atau penggalangan dana. Bukan kualitas dan kemampuan. Kelima, korupsi politik yang melibatkan kader partai atau partai politik. "Dengan kata lain, persoalan keuangan yang membelit partai telah merusak partai dan mengancam tata kelola pemerintahan yang bersih dan antikorupsi," tuturnya.

ags/N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Agus Supriyatna

Komentar

Komentar
()

Top