Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Tak Sedikit Elit Negeri yang Tidak Faham Hal Fundamental yang Menjadi Pancasila

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

YOGYAKARTA - Pendidikan nasional dalam spektrum Keindonesiaan sejatinya telah memiliki skema, fondasi, arah dan tujuan yang jelas sebagaimana telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa di dalam konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Hal ini menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, seharusnya cukup menjadi dasar bagi para pemangku dan perumus kebijakan dalam membawa arah pendidikan nasional agar tidak keluar jalur.

"Para pendiri bangsa ini telah memahat begitu kokoh. Yang di belakang hari tidak sedikit elit di negeri ini yang tidak paham atau gagal paham memahami hal yang fundamental ataufilosofi grondslagyang kemudian mengkristal menjadi Pancasila," kritiknya, dikutip dari rilis PP Muhammadiyah, hari ini.

Dalam orasi ilmiah bertema "Visi dan Misi Pendidikan Indonesia" pada Lustrum ke-12 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UNISBA, Selasa (20/12), Haedar menjelaskan bahwa konsistensi para pendiri bangsa itu terlihat dalam rumusan konstitusi.

"Ketika Indonesia merdeka, para pendiri bangsa merumuskan tujuan Indonesia merdeka adalah bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Lalu ketika membangun pemerintahan Republik Indonesia, tujuannya adalah melindungi seluruh tumpah darah bangsa Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan lain sebagainya," kata Haedar.

Haedar lantas menjelaskan bahwa makna istilah "mencerdaskan kehidupan bangsa" menurut Taufik Abdullah adalah tidak rasional-instrumental saja, tetapi bersifat multidimensi dan mencakup kecerdasan seluruh potensi manusia Indonesia sebagai suatu ekosistem, termasuk nilai-nilai agama dan kebudayaan luhur bangsa.

Maksud inilah yang menurutnya dijabarkan oleh para pendiri bangsa dalam konstitusi bahwa pendidikan Indonesia memiliki ciri khasnya sendiri dan harus terus diakomodasi seperti tertera dalam Pasal 31 UUD 1945 ayat 3 dan 5, bahwa pendidikan nasional tidak boleh lepas dari dimensi iman, takwa, dan akhlak mulia (etika religiusitas).

Poin penting ini kata Haedar kemudian ditegaskan dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa aspek kultural, kemajemukan, dan agama harus diakomodasi sebagai kesatuan multidimensional sebagaimana yang dimaksud oleh Prof. Taufik Abdullah di atas.

"Satu pihak ingin membangun karakter dan peradaban bangsa, dengan tujuan spesifiknya mengembangkan potensi manusia Indonesia yang Berketuhanan Yang Maha Esa, yang sehat, cerdas, berilmu, mandiri, bertanggung jawab dan demokratis," kata Haedar.

Dengan pemahaman terhadap konsistensi alur berpikir yang sesuai dengan fondasi konstitusi ini, Haedar yakin para elit tidak seharusnya gamang dalam melahirkan kebijakan pendidikan baru yang umumnya kontroversial karena ketidakpahaman itu.

"Saya yakin dengan fondasi ini kita sebenarnya tidak perlu mengalami disorientasi dalam membawa Indonesia, baik secara umum maupun dalam dunia pendidikan kita. Pemerintahan boleh berganti, menteri boleh berganti kebijakan, tapi fondasinya mestinya kontinyu dan menjadi basic nilai pendidikan kita," tegasnya


Redaktur : Eko S
Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top