Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Sukidi: Masjid Dirusak, Gereja Dirusak, Itu Tunjukkan Bahwa Toleransi Masyarakat Rapuh

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

YOGYAKARTA - Sekitar 10 personel Satpol PP membongkar tiang beton untuk pembangunan Masjid Taqwa Muhammadiyah Bireun, Aceh, pada Kamis (12/05). Peristiwa memilukan ini juga pernah terjadi sebelumnya saat beberapa oknum merusak dan menyuruh perusakan plang bertanda Muhammadiyah di Masjid Al-Hidayah Desa Tampo, Banyuwangi, Jawa Timur pada Jumat (22/02).

Banyaknya hambatan membangun rumah ibadah juga dirasakan umat Kristiani di Bekasi, Jawa Barat. Mereka harus menunggu selama puluhan tahun hingga akhirnya dapat membangun Gereja Santa Clara di wilayah Bekasi Utara.

Pada 25 Desember 2019 silam, jemaat Paroki Gereja Santa Clara untuk pertama kalinya dapat merayakan prosesi natal. Cendekiawan Muhammadiyah, Sukidi, mengatakan ragam peristiwa perusakan tempat ibadah yang tidak sedikit ditemui di berbagai tempat di Tanah Air tersebut menunjukkan bahwa integrasi sosial masyarakat menghadapi suatu hambatan, tantangan, dan ancaman.

Bukan hanya terhadap umat beragama yang berbeda, tetapi antar umat Islam saja terjadi benturan. Ini menggambarkan bahwa toleransi antar komponen bangsa begitu rapuh.

"Fenomena ini menggambarkan bahwa toleransi kita begitu rapuh dan mudah retak. Bukan saja kepada umat beragam yang berbeda, tetapi pada umat dalam agama yang sama, toleransi masih jauh panggang dari api," tutur Sukidi dalam acara Seminar Pra-Muktamar pada Rabu (25/05).

Menurut Sukidi, dalam menegakkan nilai-nilai toleransi antar komponen bangsa dibutuhkan fondasi yang kokoh. Fondasi tersebut berasal dari hadis Nabi Saw yakni Ahabbu ad-din ilallah al-hanafiyyatu as-samhatu. Artinya, agama yang paling dicintai Allah adalah (yang bercirikan) toleran. Bukan hanya toleran antar umat Islam, tapi juga seluruh sekte kemanusiaan.

"Kita harus memberikan toleransi yang otentik bukan yang mudah retak. Toleransi yang berangkat dari ketulusan dan penghormatan kepada umat agama yang berbeda. Tetapi ingat, toleransi saja tidak cukup, karena tidak mengandaikan suatu kesetaraan," kata Sukidi.

Sukidi menegaskan bahwa dalam membangun integrasi sosial, toleransi saja tidak cukup. Sebab dalam sejarahnya, toleransi tidak lebih dari sekadar konsesi negara atau gereja agar menahan diri dari persekusi.

Karenanya, toleransi harus diiringi dengan kesetaraan, yang menjadi harapan ideal di kalangan minoritas. Adanya perusakan dan larangan membangun tempat ibadah tersebut merefleksikan bahwa bangsa Indonesia belum tegak sebagai satu umat dan satu bangsa. Hal ini terjadi bukan karena tidak adanya toleransi, melainkan akibat dari tidak adanya kesetaraan di ruang publik. Bagi Sukidi, dalam membangun integrasi sosial, kesetaraan antar komponen bangsa merupakan harga mati.

"Keluarga besar Muhammadiyah harus menjiwai bahwa kita semua setara. Tuhan menciptakan kita berbeda-beda, dari suku, agama, bangsa, bukan untuk saling membenci dan saling merendahkan satu sama lain, melainkan agar saling mengenal (lita'arafu)," ujar alumni Harvard University ini.


Redaktur : Eko S
Penulis : -

Komentar

Komentar
()

Top