Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Pengelolaan Keuangan Negara I Utang di Masa Lalu Harus Direnegosiasi Ulang

Subsidi Jor-joran Mengalir Bukan ke Rakyat Miskin

Foto : Sumber: Kemenkeu – Litbang KJ/and/ones
A   A   A   Pengaturan Font

» Ruang fiskal semakin sempit dalam menghadapi krisis pangan dan energi.

» Indonesia sebenarnya sedang mengalami permasalahan utang yang sangat kritis.

JAKARTA - Harapan negara-negara miskin dan lembaga multilateral agar Indonesia memainkan peran penting dalam pertemuan puncak kelompok negara-negara 20 (G20) pada November mendatang diharapkan tidak membuat terlena. Indonesia jangan sampai all out berjuang agar negara-negara miskin diberi keringanan, tetapi lupa kalau Indonesia sendiri banyak dibebani utang masa lalu, seperti obligasi rekap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang membuat ruang fiskal saat ini sangat terbatas.

Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, saat diminta pandangannya, dari Jakarta, Selasa (19/7), mengatakan Indonesia juga semestinya berinisiatif memangkas beban utang yang selama ini membebani keuangan negara, terutama utang-utang yang tidak produktif.

Pemerintah, katanya, harus membuat ruang fiskal yang lebih leluasa terutama dalam menangkal dampak krisis pangan dan energi global. "Kalau tidak ada usaha untuk renegosiasi utang dan malah nambah utang lagi, jadi good boy kreditur dunia, ada apa ini? Apakah kalau negara nambah utang ada pejabat kita yang dapat untung?" tanya Daeng.

Menurut dia, semua kalangan sudah tahu bahwa kondisi keuangan negara besar pasak daripada tiang. Subsidi jor-joran diberikan tanpa melihat siapa penerimanya bahkan diduga justru lebih banyak mengalir ke konglomerat dalam bentuk subsidi energi untuk angkutan batu bara dan 15 juta mobil pribadi, bukan ke rakyat miskin.

Saat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ngos-ngosan menanggung beban cicilan bunga dan pokok utang, kenapa pemerintah justru menarik lebih banyak utang bukannya malah merenegosiasi utang di masa lalu yang banyak yang bermasalah.

"Kalau begitu, kita bisa duga ada permainan. Logika sederhana saja, di bank itu kalau kita membantu memperbesar penyaluran kredit dapat komisi lho. Ini utang negara dan APBN itu jumlahnya luar biasa besar, siapa yang dapat komisi ini? Rakyat sah menduganya karena pengelolaan utang ini serampangan," tandas Salamuddin.

Sangat Kritis

Pada kesempatan berbeda, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, mengatakan bahwa Indonesia tidak boleh merasa besar kepala karena pengurangan utang terhadap risiko itu hanya untuk negara-negara berkembang dan negara-negara miskin seperti Sri Lanka. Kendati demikian, Indonesia sebenarnya sedang mengalami permasalahan utang yang sangat kritis.

Kenaikan suku bunga, paparnya, membuat tekanan terhadap bunga utang pemerintah. Kalau dilihat dari debt sevice ratio atau kemampuan membayar utang, Indonesia belum membaik. Kalaupun membaik karena masih ditopang oleh penerimaan valas dari ekspor komoditas yang fluktuatif.

Dalam pemanfaatan utang, selama ini banyak digunakan untuk belanja konsumtif seperti belanja barang dan belanja pegawai, sementara utang yang digunakan untuk infrastruktur tidak semuanya memberikan output yang efektivitas dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

"Utang akan semakin menjadi beban karena pembayaran bunga meningkat, sehingga mempersempit ruang fiskal dalam menghadapi krisis pangan dan energi," katanya.

Maka mau tidak mau, sambung Bhima, pemerintah juga harus melakukan pengendalian terhadap penerbitan utang yang baru dan melakukan efisiensi di belanja pemerintah sebelum tekanan kurs dan tekanan suku bunga akan berakibat fatal menurunkan kredit rating atau rating utang Indonesia dan membuat Indonesia mengalami tekanan dari keluarnya modal di pasar surat utang.

Pakar Ekonomi dari Universitas Brawijaya Malang, Munawar Ismail, mengatakan utang memang banyak untuk infrastruktur dengan harapan akan terasa dampak ekonominya sebelum jatuh tempo. Namun jika dibiayai utang, bagaimana beban pembayarannya, ini dilema.

"Pemerintah harus selektif dalam belanja infrastruktur, bukan hanya yang sanggup memberikan keuntungan, tapi yang bisa cepat dirasakan manfaatnya. Kalau menambah utang, apakah kita masih aman ke depan? Jadi, ada benarnya, memang perlu ruang fiskal yang leluasa untuk antisipasi krisis global ini," pungkas Munawar.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top