“Stunting' Bukti Kemiskinan Ekstrem akibat BLBI
ANGGARAN PENANGANAN “STUNTING” DI APBN MENURUN I Petugas mendata balita untuk mendapatkan makanan tambahan dan vitamin di Palu, Sulawesi Tengah, beberapa waktu lalu, sebagai pencegahan dini stunting. Sayangnya, dengan prevalensi stunting yang masih tinggi, 24,4 persen atau 5,33 juta balita anggaran penanganan stunting di APBN justru mengalami penurunan.
Foto: DOK KJ/ANTARA» Belanja negara habis disedot pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi BLBI yang jika ditotal bisa mencapai 5.000 triliun rupiah.
» Masih tingginya angka stunting di Indonesia layak disebut sebagai bencana kemanusiaan.
JAKARTA - Data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) Tahun 2021 menunjukkan prevalensi stunting setelah 77 tahun Indonesia merdeka masih 24,4 persen atau 5,33 juta balita. Dengan angka yang masih tinggi itu, sangat sulit diterima sebagai sesuatu yang wajar dan stunting adalah bukti kemiskinan ekstrem di Indonesia.
Sulitnya mengurangi angka stunting itu ditengarai karena masih tingginya angka kemiskinan yang salah satunya disebabkan oleh skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang hingga saat ini masih banyak yang belum dikembalikan para debitur.
Selain BLBI, kemiskinan juga dipicu minimnya anggaran untuk membiayai program kemiskinan karena belanja habis disedot pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi BLBI yang jika ditotal bisa mencapai 5.000 triliun rupiah.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf, yang diminta pendapatnya, Senin (20/6), mengatakan jika negara tidak serius menghentikan stunting.
"Membiarkan sampai jutaan bayi kekurangan gizi, itu merupakan tindakan kejahatan besar kemanusiaan. Orang tua pasti tidak rela membiarkan anak balitanya kekurangan gizi, hanya diberi air tajin. Itu karena benar-benar tidak mampu," katanya.
Pemerintah seharusnya bisa mengurangi pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu, bahkan pengeluaran yang bermasalah seperti pembayaran bunga obligasi rekap. "Konglomerat disubsidi, bayi yang baru lahir dibiarkan stunting. Ini harus dihentikan," papar Maruf.
Apalagi Menteri Keuangan, Sri Mulyani, kerap menyoroti stunting ini sebagai ancaman yang bisa merusak fondasi bangsa. Semestinya dia menindaklanjuti dengan menyiapkan anggaran untuk memperbaiki gizi anak dengan melalui pemberian asupan gizi di sekolah-sekolah dan keluarga miskin.
"Bayangkan kalau anggaran sebesar itu untuk menciptakan lapangan kerja dan gizi anak rakyat jelata. Ini kejahatan kemanusiaan kepada rakyat yang dipelihara. Bagaimana pemerintah mensubsidi para rampok negara dengan obligasi rekap bunga berbunga kepada obligor BLBI. Orang yang merampok dikasih uang oleh negara, sedangkan rakyatnya dalam kondisi miskin ekstrem," kata Maruf.
Secara terpisah, Pakar Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang, Munawar Ismail, mengatakan skandal BLBI sangat merugikan masyarakat dan berdampak besar pada banyak aspek pembangunan, termasuk stunting.
Celakanya, bantuan itu tidak dipakai untuk menyehatkan bank, tapi dibawa lari. Sama sekali tidak produktif.
Prioritas Nasional
Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan stunting menjadi prioritas nasional. Pada 2022 misalnya, melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, pemerintah menargetkan 514 kabupaten/kota menjadikan stunting sebagai prioritas daerah.
"Sayangnya, komitmen itu tidak nampak pada kebijakan anggaran. Bahkan jika ditelisik dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, anggaran penanganan stunting di APBN mengalami penurunan," tegas Badiul.
Pada 2020, anggaran untuk penanganan stunting mencapai 37 triliun rupiah, kemudian turun pada tahun 2021 di angka 35 triliun rupiah. Belum berhenti, pada 2022, turun lagi menjadi 34 triliun rupiah. Padahal tahun ini juga Bappenas mencanangkan 514 kabupaten/kota menjadikan stunting sebagai prioritas daerah.
Penurunan anggaran itu ironis, karena saat ini prevalensi stunting masih diangka 24,4 persen, dan pada 2024, Presiden menargetkan bisa menurunkan menjadi 14 persen pada 2024.
Penurunan anggaran penanganan stunting, menurutnya, karena APBN belum sepenuhnya sehat, di antaranya karena beban bunga utang obligasi rekap BLBI yang menggerogoti APBN.
Sebab itu, pemerintah harus serius menyikapi beban bunga obligasi rekap BLBI itu, agar prioritas pembangunan bisa berjalan dengan baik sesuai dengan target pemerintah.
Dengan angka prevalensi kekerdilan yang berada di level 24,4 masih tinggi jika dibandingkan dengan standar minimal WHO sebesar 20 persen.
Sebagai negara anggota G-20, angka stunting Indonesia sudah layak disebut sebagai bencana kemanusiaan. Hal itu disebabkan salah satunya oleh pola penganggaran yang tidak tepat, yakni membelanjakan uang rakyat tidak untuk kepentingan rakyat.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
- 3 Ini Kata Pengamat Soal Wacana Terowongan Penghubung Trenggalek ke Tulungagung
- 4 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 5 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
Berita Terkini
- CEO Nvidia Jensen Huang Sebut 'Era AI telah Dimulai'
- Messe Duesseldorf Ajak Industri Plastik dan Karet Indonesia Akselerasi Penerapan Industri Hijau Melalui Pameran K
- Edukasi Pentingnya Nutrisi Toko Susu Hadirkan Area Permainan
- Survei Indikator: Pemilih KIM Plus Banyak Menyeberang ke Andika-Hendi di Pilgub Jateng
- Tiga Merek Baru Mobil Listrik Buatan Tiongkok Resmi Diluncurkan di Indonesia