Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Jum'at, 16 Agu 2019, 05:00 WIB

Srihadi Pelukis Pejuang

Foto: Koran Jakarta/Teguh Raharjo

Pelukis Srihadi Soedarsono Adhikoesoemo telah berjuang sejak era perjuangan kemerdekaan. Bergabung menjadi tentara dengan bertugas di Balai Penerangan Militer. Tugasnya membuat poster, brosur, yang isinya penyemangat perjuangan serta membuat sketsa peristiwa sebagai bahan dokumentasi internal TNI, yang waktu itu masih disebut TKR.

Untuk mengetahui kiprahnya di masa perjuangan dan harapannya kepada generasi muda sekarang, wartawan Koran Jakarta, Teguh Raharjo, berkesempatan mewawancarai pelukis kenamaan Indonesia, Srihadi Soedarsono Adhikoesoemo, di kediamannya, Jalan Ciumbuleuit, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (13/8). Berikut petikan selengkapnya.

Bagaimana Anda mulai tertarik melukis?

Saya lahir tahun 1931. Seingat saya, waktu itu masih umur empat atau lima tahunan sudah suka corat-coret di kertas, di dinding rumah. Yang memperhatikan kakek dan nenek. Waktu itu Belanda masih menguasai Indonesia. Saat itu saya tinggal di Solo. Kakek yang menyediakan potlot (pensil-red), kapur warna, tidak ada guru khusus yang ngajarin. Kakek membelikan cat air dan peralatan melukis.

Kakek membelinya di sebuah toko di Semarang, kalau tidak salah namanya Toko Van Dort. Kalau harus ke Semarang, kakek naik kereta, tidak seperti sekarang kendaraan banyak. Saya semakin suka melukis karena kakek. Namun sejak Jepang masuk, agak sulit mencari peralatan lukis. Penjajahan Jepang memang lebih berat bagi rakyat waktu itu, hampir semua sulit didapat.

Tapi masih bisa meneruskan melukisnya?

Keinginan melukis terus saja ada, tidak bisa dicegah. Bahan apa saja yang ada bisa dipakai untuk melukis. Masuknya Jepang memberikan dorongan baru bagi saya untuk semakin bersemangat melukis, terutama sketsa. Waktu itu saya membaca majalah Jepang, di dalamnya banyak gambar ilustrasi, bukan foto, tidak ada kamera saat itu. Jadi hanya gambar ilustrasi. Yang membuat ternyata adalah prajurit Jepang yang bertugas sebagai wartawan dan pelukis peristiwa.

Saya kagum, lukisannya menggantikan foto saat itu, bisa menggambarkan kondisi peperangan dengan sketsa. Banyak gambar tentara Jepang saat menyerbu Asia, masuk Indonesia, pesawat jatuh di Jakarta, dan lainnya. Sangat detail sketsanya. Kita yang melihat sekarang tidak tergambar perang seperti apa karena tidak ada foto, tapi tahu karena ada lukisan tentara Jepang itu.

Kapan mulai menjadi perlukis perjuangan?

Saat saya mulai membuat sketsa peristiwa perjuangan yang saya saksikan, ternyata itu diperhatikan oleh Balai Penerangan Militer saat itu. Lalu diajak masuk dan bergabung, khusus untuk membuat poster, brosur, yang isinya penyemangat perjuangan. Juga membuat sketsa peristiwa sebagai bahan dokumentasi internal TNI, yang waktu itu masih disebut TKR.

Saya juga aktif di organisasi Ikatan Pelajar Indonesia, semakin aktif membuat gambar untuk TNI. Suasana waktu Proklamasi Kemerdekaan juga digambarkan, kebetulan anak sekolah saat itu semua keluar merayakan kemerdekaan, ada rapat-rapat akbar. Saya ingat waktu itu umur sekitar 14 tahun, sudah gabung di TNI, sebagai pelukis sketsa.

Jadi sudah aktif di TNI umur 14 tahun dengan tugas melukis?

Tugasnya membuat slogan-slogan perjuangan dengan lukisan dan tulisan penyemangat. Kan sebelumnya aktif membuat grafiti di jalan, dengan difasilitasi TNI, semakin mudah menyalurkan minat melukis, meski sketsa dan peristiwa kisah perjuangan dan kebanyakan untuk dokumentasi internal. Saya intinya menjadi prajurit waktu itu. Tapi juga menjadi seperti wartawan, sebab dikirimkan ke lokasi penting untuk membuat sketsa peristiwa untuk dokumentasi TNI.

Sampai kapan menjadi prajurit?

Di TNI saya mendapatkan pangkat seperti prajurit lain. Sampai akhirnya tahun 1950, ada pengakuan Belanda atas kemerdekaan murni Indonesia, saya diberikan pilihan. Saat itu kan bergabung dengan TNI sebagai tentara untuk berperang. Perang selesai maka tugas sebagai tentara dianggap selesai juga. Pilihannya tetap sebagai prajurit atau kembali sebagai masyarakat sipil.

Saya berpikir masih terlalu muda untuk menjadi tentara dan menghabiskan umur sebagai prajurit, sementara passion saya melukis. Akhirnya memilih untuk keluar dan meneruskan belajar yang sempat terbengkelai. Pangkat terakhir saya adalah sersan mayor, itu tahun 1950. Itu berarti saya umurnya baru 19 tahun. Sampai sekarang masih mendapatkan hak sebagai legiun veteran, saya anggota LVRI.

Saya menyelesaikan SMP dan SMA, kemudian mencari tahu pendidikan selanjutnya yang terkait menggambar. Hanya ada satu yakni pendidikan di Balai Pendidikan Guru Gambar, itu pun gambar untuk sketsa arsitektur atau teknik sipil. Kini akhirnya ada ITB dengan jurusan seni rupa, saya sempat menjadi guru besar ITB. Saya terus menjadi dosen dan melukis sampai saat ini.

Sebagai pelaku perjuangan yang juga pelukis, menurut Anda, cara menjaga rasa nasionalisme masyarakat seperti apa? P

ara pahlawan memperjuangkan kemerdekaan dari nol sampai akhirnya ada Indonesia. Kita harus selalu bersyukur. Justru kita yang harus membawa negara ini menjadi gemah ripah loh jinawi. Itu yang harus menjadi tujuan, karena pada awalnya kita ini tidak memiliki apa-apa, dijajah Belanda dan Jepang.

Kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu momen yang saya rasakan sangat luar biasa. Saat itu, kami keluar sekolah bersama-sama merayakan kemerdekaan. Mendengarkan teks Proklamasi sungguh hal luar biasa. Pemuda-pemudi yang diajarkan berperang oleh Jepang kini bisa mempraktikan langsung melawan Belanda yang kemudian akan datang lagi menjajah. Jadi, itu sekarang yang harus disyukuri. Jangan ribut terus.

Apa yang Anda harapkan dari pelukis atau seniman saat ini?

Sekarang kita bisa berjuang melalui profesi masing-masing, keahlian masing-masing. Bidang apa pun yang baik. Masyarakat harus mampu mengembangkan mutunya masing-masing. Satukan visi satu negara kesatuan. Indonesia harus semakin dikenal dunia internasional. Jangan meremehkan sumber daya yang ada, termasuk melukis dengan cat air.

Mudah ditemukan, murah, dan semua bisa, tapi hasilnya kini diakui dunia internasional melalui International Watercolor Society di Bali. Negara lain bisa hargai ini, sementara kita sendiri masih anggap ogah-ogahan dengan cat air. Padahal sumber dayanya melimpah di kita, murah. Anak-anak bisa mulai mencobanya.

Pesan terhadap anak muda sekarang?

Tetap terus semangat, bekerja sebaik-baiknya sesuai profesi yang disukai, hukum, desain, seni. Yang penting 100 persen mencintai pekerjaannya, jangan setengah-setengah. Gamelan jika tidak dikembangkan akan hilang, tarian juga demikian. Itu kebudayaan kita yang harus tetap dipertahankan.

Negara lain iri dengan kekayaan seni dan budaya kita. Anak saya saja, tidak ada paksaan untuk mengikut jejak melukis. Silakan mereka milih sesuai passion-nya dengan konsekuensi jangan setengah-setengah. Alhamdulillah, semua sudah berhasil dengan keinginannya masing-masing.

Dengan karya yang begitu banyak, apakah tidak ingin membuat museum?

Saya tentu ingin, tapi nggak berani. Karena membuat museum itu tidak mudah. Harus mengelolanya dengan baik, mengatur suhu ruangan yang pas. Memelihara lukisan itu tidak mudah. Saya juga tidak mau memberikan tanggung jawab museum kepada anak-anak. Mereka tidak di sini. Tetapi kalau ada museum yang meminjam lukisan silakan, saya tidak keberatan.

Bagaimana dengan persiapan Anda untuk pameran tunggal?

Rencananya dilaksanakan di Galeri Nasional pada tanggal 11 Maret 2020. Masih lama, tapi sejak setahun lalu sudah saya siapkan. Awalnya minta tahun ini saja, tapi pihak Galeri Nasional mengatakan jadwal sangat penuh, apalagi mendekati akhir tahun.

Apa yang ingin ditampilkan?

Saya berencana memajang 50 lukisan. Temanya adalah lukisan alam atau landskape. Alam yang saya lukis adalah alam asli Indonesia. Beberapa lukisan sudah siap, beberapa lainnya sedang disiapkan. Semoga bisa selesai tepat waktu.

Di ruang tamu ini terpajang banyak lukisan. Ini lukisan Anda semua?

Iya. Sudah lama sekali dibuat. Jadi pajangan. Beberapa yang itu (menunjuk lukisan yang tersender di dinding bagian bawah ruang tamu) adalah proyek baru. Sedang mencoba membuat lukisan dengan media baru, kertas-kertas, ada printingan juga. Yang ini, lukisan dari cat air. Kalau lihat tahunnya itu tahun 1975. Yang di pojokan itu lukisan printing.

Sudah lama sekali tapi masih bagus, dan itu cat air?

Iya, cat air. Jangan dikira cat air itu cat yang murahan. Negara lain, khususnya Eropa sangat menghargai lukisan cat air. Bahkan selama sepuluh hari lalu, di Bali, saya menjadi juri sebuah acara. Namanya International Watercolor Society. Jadi memang baru istirahat dua hari ini pulang dari Nusa Dua. Masih cukup lelah, tapi sangat menyenangkan di sana. Banyak lukisan bagus, semuanya cat air. Sangat indah.

Indonesia menjadi tuan rumah event lukisan cat air internasional?

Betul, kami sangat bangga mendapatkan kepercayaan ini. Apalagi saya menjadi juri dari Indonesia, bersama dengan empat juri lain dari Kanada, Amerika Serikat, Singapura, dan Tiongkok. Jadi ada 56 negara yang hadir, di mana ada 100 pelukis yang mengikuti pameran tersebut.

Yang saya tidak sangka, banyak negara yang tidak pernah muncul di berita ikut, seperti Albania, Kosovo. Bahkan Kosovo menjadi juara pertama bersama pelukis dari Jerman. Selain pameran memang dilombakan. Juara satu, dua, dan tiga masing-masing ada dua setiap kategorinya. Indonesia ada peserta dari Bali yang mendapatkan juara dua. Banyak sekali cerita bagus di sana.

Apa cerita bagus tersebut?

Selama sepuluh hari pamerannya. Seminggu kami bawa sekitar 100 peserta keliling tur Bali menggunakan empat bus. Kami diskusi banyak hal terkait lukisan cat air dengan sesama pelukis dan wartawan serta mengulas perkembangannya saat ini. Mereka sangat puas dengan penyelenggaraan di Indonesia.

Memang sejak April persiapannya, kami menerima 900 kiriman lukisan melalui email, dalam bentuk foto dulu. Lalu diseleksi menjadi sekitar 350 lukisan. Nah, 350 lukisan ini kemudian dikirimkan ke Bali dan yang kemarin itu dipamerkan di sana. Dari yang dipamerkan itu kami pilih enam lukisan terbaik untuk mendapatkan hadiah.

Memang melelahkan, tapi sangat senang, kami juga dibantu oleh para kurator untuk memilih dan seleksi lukisan cat air. Yang juara kami kasih hadiah untuk stay di Bali selama seminggu, melihat Bali dan Indonesia yang indah. Mereka sudah pasti bisa mengikuti event yang sama pada tahun depan. Kemungkinan akan di Eropa, kami akan jadi tamu dan juri tamunya.

N-3

Redaktur: Marcellus Widiarto

Penulis:

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.