Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Tanaman Hortikultura - Sekitar 90 Persen Petani di Indonesia Berusia di Atas 47 Tahun

“Smart Farming" Tekan Risiko Cuaca

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Tanaman hortikultura sangat rawan terdampak perubahan iklim sehingga diperlukan langkah mitigasi agar produksinya tidak terganggu. Sektor pertanian harus tetap berproduksi dan tak boleh terhenti karena masalah iklim.

Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan), Prihasto Setyanto, mengatakan dalam pengembangan budi daya hortikultura, dampak perubahan iklim dapat menyebabkan banjir dan kekeringan, peningkatan suhu udara dan permukaan laut. Dampak lainnya berupa perubahan curah hujan.

"Selain itu, potensi serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan sebagainya dapat mempengaruhi produktivitas dan praktik budi daya yang dilakukan," ucapnya di Jakarta, Jumat (19/11).

Dia menyampaikan Ditjen Hortikultura memiliki berbagai strategi untuk menghadapi dampak perubahan iklim, antara lain berupa antisipasi, adaptasi, dan mitigasi.

"Antisipasi berupa pengkajian terhadap perubahan iklim untuk meminimalkan dampak negatif terhadap sektor pertanian. Adaptasi berupa penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak perubahan iklim, dan selanjutnya mitigasi yaitu usaha dalam mengurangi risiko terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca," jelas Prihasto.

Teknologi 4.0 bidang pertanian menjadi sesuatu yang penting untuk menghadapi perubahan iklim. Teknologi berkembang dengan tujuan untuk menghindari berbagai risiko kerugian dalam budi daya pertanian berkaitan dengan perubahan iklim, seperti gagal tanam dan serangan hama.

Pengajar Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Bayu, mengatakan kebutuhan teknologi dalam menghadapi perubahan iklim dapat berupa prediksi cuaca, jumlah air, kondisi tanah dengan pemasangan sensor, waktu pemupukan yang tepat dan jumlah pemupukan, serta cara menghadapi dan menangani serangan hama.

Informasi yang didapat melalui sensor tersebut harus dapat dipahami oleh petani dan dapat diakses secara realtime. Selain digunakan pada sisi budi daya, teknologi smart farming bisa diterapkan juga sebagai penduga emisi gas rumah kaca.

Masalah Regenerasi

Praktisi teknologi irigasi tetes komoditas hortikultura pada lahan kering, Yance, menegaskan banyak lahan di Indonesia tidak dimaksimalkan secara baik akibat iklim yang tak menentu dan ketersediaan air terbatas. Masalah selanjutnya, kata dia, petani di Indonesia 90 persen berusia di atas 47 tahun.

"Sangat sedikit generasi muda dan anak petani yang ingin melanjutkan profesi orang tuanya. Pola pertanian masih mempertahankan sistem pertanian konvensional atau lebih mengandalkan tenaga kerja manusia dan petani tidak mengetahui analisis unsur hara tanah," jelas Yance.

Yance melanjutkan, dengan didukung smart farming, petani dapat mengetahui sensor tingkat keasaman (ph) tanah dan kelembapan, sensor suhu dan perkiraan cuaca, kontrol pengairan, sensor NPK dan water flow. Pemanfaatan teknologi di lahan menjadi poin penting dalam peningkatan produktivitas pertanian dan akan berpengaruh pada kesejahteraan petani.

"Namun, dalam pemanfaatannya diperlukan teknologi yang mencapai skala mikro atau lokal agar lebih bermanfaat dan tepat jika digabungkan dengan berbagai teknologi pendukung lain," pungkas Yance.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top