Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kehidupan Berdemokrasi | Masih Banyak Warga yang Alami Diskriminasi

Skor Indeks Demokrasi RI Turun

Foto : KORAN JAKARTA/TRESNO JULIANTOR

MEREDUPNYA DEMOKRASI | Senior Lecturer Paramadina Graduate School, Abdul Malik Gismar (kedua dari kiri), peneliti utama bidang politik LIPI, Mochtar Pabottingi (kedua dari kanan), dan pendiri SMRC, Saiful Mujani (kanan) pada acara diskusi bertajuk Meredupnya Demokrasi di Indonesia, di Jakarta, Minggu (4/7).

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Lembaga survei Saiful Mujani Research Consulting (SMRC) menyatakan skor indeks demokrasi di Republik Indonesia (RI) menurun sejak tahun 2013. Melemahnya kebebasan sipil di Indonesia menjadi penyebab utama menurunnya demokrasi di Indonesia.

"Sejak tujuh tahun terakhir ada penurunan kinerja demokrasi yang serius di Tanah Air. Salah satu faktornya semakin kuatnya diskriminasi pada kalangan minoritas," kata pendiri sekaligus peneliti utama SMRC, Saiful Mujani, di Kantor SMRC, Gondangdia, Jakarta, Minggu (4/8).

Saiful menyebutkan kaum minoritas yang beberapa kali mendapat kekerasan di muka publik menjadi salah satu penyebab perusak demokrasi yang telah berjalan. Padahal, pada 2005-2012 Indonesia telah mencapai kebebasan demokrasi yang sempurna lewat survei internasional, Freedom House. Bahkan, kualitas demokrasi Indonesia terbaik se-Asia.

"Namun sejak 2013, skor indeks kebebasan demokrasi itu menurun sehingga sekarang nilainya hanya sebagian bebas," terang Saiful. Pembenahan Aturan Saiful mengatakan perlu ada pembenahan aturan yang masih memberikan celah diskriminatif. Sebab, SMRC menyebutkan kebebasan beragama di Indonesia masih rendah. Padahal, menjalankan dan menyatakan keyakinan sudah harusnya menjadi hak sipil.

"Masih banyak warga yang mengalami diskriminasi, tidak diterima oleh warga yang lain," ucapnya.

Lebih jauh, lagi Saiful berharap peran negara dalam melindungi hak warga dalam beragama untuk mengurangi diskriminasi yang paling besar dirasakan kelompok minoritas. Selain itu, kebebasan untuk berkumpul juga masih kurang terlindungi, terutama berkumpul dan berserikat.

"Misalnya ini terjadi pada gerakan yang berusaha meminta pemerintah membuka kembali kasus kekerasan G30S, kerusuhan 98, mereka sering terintimidasi," lanjutnya.

Saiful menjelaskan salah satu faktor kunci peningkatan tindak diskriminasi yang bahkan melibatkan kekeresan oleh kelompok-kelompok konservatif terhadap kelompok-kelompok minoritas adalah keraguan pemerintah untuk bersikap tegas menegakkan prinsip kesetaraan warga.

"Ada asumsi di elite politik bahwa gelombang konservativisme diskrimatif itu besar dan berpengaruh sehingga bisa mengancam posisi politik elite itu bila mereka bersikap tegas. Namun, itu sebenarnya hanyalah asumsi yang tidak dilandasi fakta. Buktinya, kaum konservatif diskriminatif tidak pernah menang dalam kontestasi politik sepanjang sejarah Indonesia," ulasnya.

Sementara itu, dosen politik Universitas Paramadina, Abdul Malik Gismar, menyatakan indeks demokrasi di Indonesia yang menurun berbanding terbalik dengan partisipasi politik masyarakat yang tinggi. Kendati demikian, ia mengakui partisipasi masyarakat saat ini belum efektif, sehingga perlu peran dari pemerintah untuk membantu masyarakat agar lebih efektif.

"Saya harap, pemerintah bisa membantu LSM dan masyarakat ini. Jadi, diperlukan sekali LSM. LSM adalah partner yang baik buat pemerintah, dan kunci dari semua ini adalah partai politik yang baik," imbuh Abdul.

Abdul menjelaskan partai politik yang baik akan menunjukkan demokrasi yang baik pula. Sebab, kalau partai politiknya bisa baik maka akan melahirkan orang-orang yang baik dalam kesertaan politik, sehingga banyak persoalan politik yang dapat diperbaiki. tri/N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto

Komentar

Komentar
()

Top