Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Pengelolaan Anggaran - Menkeu Seharusnya Takut Memberi Uang Negara ke Debitur BLBI

Setop Gunakan Uang Negara untuk Membayar Perampok BLBI

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Pembayaran bunga OR BLBI termasuk kejahatan kemanusiaan karena memiskinkan rakyat.

Kalau disetop, dana bunga OR BLBI bisa direalokasi untuk membiayai transisi energi.

JAKARTA - Kalau pemerintah berani menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) karena sadar sudah membakar duit untuk subsidi 502 triliun rupiah, seharusnya lebih berani menghentikan kebijakan yang keliru yakni terus membayar bunga obligasi rekap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (OR BLBI) kepada para konglomerat yang merampok uang negara.

Kalau terus mempertahankan kebijakan yang salah itu, patut diduga ada kolusi atau korupsi di balik itu sehingga orang yang berutang, tapi negara yang membayar. Menteri Keuangan pun sebagai bendahara negara seharusnya takut, kenapa uang negara dikasih ke debitur yang merampok BLBI.

Sudah bisa diterka, kalau pemerintah dalam hal ini Menkeu akan menjawab hanya mengikuti ketentuan dalam Master Settlement And Acquitition Agreement (MSAA), dan Master Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA) yang dibuat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) saat restrukturisasi. Masalahnya, kebijakan yang dibuat BPPN itu tidak masuk akal.

Semua kalangan sudah tahu kalau kebijakan itu keliru, tetapi masih diteruskan, sehingga mengorbankan dan membuat rakyat melarat. Perampok BLBI masih terus dikasih uang negara. Padahal, ini masuk megakorupsi yang berlanjut sampai 25 tahun lagi. Perbuatan tersebut juga termasuk kejahatan kemanusiaan karena rakyat dimiskinkan.

Ekonom Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf, mengatakan bahwa kondisi fiskal negara saat ini sangat lemah karena tekanan harga BBM dan pembayaran bunga dan cicilan utang. Sudah saatnya negara menghentikan pembayaran bunga obligasi rekap BLBI yang telah puluhan tahun membebani keuangan negara.

"Kalau tidak berhenti, berarti kejahatan kemanusiaan ini berlanjut. Negara tidak boleh takut dan terus mensubsidi konglomerat pemegang obligasi rekap puluhan hingga ratusan triliun rupiah tiap tahun. Mereka pemilik bank-bank sudah kaya, kenapa disubsidi terus seperti saat krisis 1998?" kata Maruf saat dihubungi, Selasa (4/10).

Saat ini, ketidakpastian ekonomi mesti cepat direspons agar rentetan pengaruh buruk yang lebih sulit bisa diredam guna memulihkan stabilitas ekonomi nasional. Daya beli masyarakat yang terpukul dengan naiknya BBM tidak akan selesai jika negara tidak punya kapasitas fiskal untuk melakukan serangkaian langkah antisipatif.

"Pembayaran bunga rekap BLBI tidak boleh menjadi tambahan beban fiskal yang sudah defisit. Apalagi diduga BLBI terjadi ada proses hukum yang dilanggar, tidak bisa menjadi beban rakyat lagi," kata Maruf.

Beberapa pemegang saham, katanya, tidak bersedia mengikuti skema tersebut dan sampai BPPN dibubarkan masih belum menyelesaikan utangnya. Para konglomerat pun terbukti banyak yang bohong bahkan jadi buron. Aset yang mereka serahkan banyak yang bodong, ditambah lagi dengan "patgulipat" dengan membeli aset mereka kembali setelah krisis mulai pulih dengan harga sangat murah.

Harus Diakhiri

Sementara itu, pengamat sosial dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) sekaligus peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC), Surokim Abdussalam, mengatakan keberpihakkan negara kepada obligor BLBI harus diakhiri dengan cara menghentikan pembayaran bunga.

"Dalam kondisi seperti sekarang (krisis) ini harus peka. Langkah urgen dan strategis harus ditempuh dalam situasi saat ini. Pemihakan kepada para obligor kelas kakap semestinya harus segera diakhiri agar negara tidak kehilangan martabat dan trust dari publik. Negara harus punya taring kuat di mata para obligor nakal," kata Surokim.

Pemerintah harus menegaskan kalau policy untuk membantu itu hanya berlaku untuk situasi krisis, darurat, dan force major, bukan sepanjang masa. Negara harus bisa tegas dan menunjukkan pemihakan yang lebih kuat kepada kepentingan publik dan berkomitmen untuk tidak main mata dengan para obligor nakal.

Dihubungi pada kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, menegaskan pemerintah harus menghentikan pembayaran bunga obligasi rekap BLBI dan dialihkan ke sektor yang lebih urgen seperti untuk mitigasi perubahan iklim. Hal itu termasuk aset yang disita pemerintah ketika disewakan atau dijual ke pihak swasta, sebagian hasil dana bisa digunakan untuk percepatan transisi energi.

"Kebutuhan pembiayaan untuk transisi energi cukup besar. Kalau pembayaran bunga OR BLBI ini direalokasi ke sana, sudah bisa menutupi hampir sebagian dari kebutuhan," kata Bhima.

Peneliti dari Indef, Nailul Huda, juga menawarkan opsi memoratorium atau menghentikan pembayaran bunga sementara selama beberapa tahun agar ruang fiskal sehat dan terjaga.

"Untuk menghemat anggaran di tengah krisis, seharusnya pemerintah berani mengambil langkah moratorium," pungkasnya.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top