Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis

Seperti Perang Vietnam, Rusia Ulangi Kesalahan Amerika dalam Perang Ukraina

Foto : istimewa

Pasukan AS melewati tembok yang rusak di Hue, selama Serangan Tet di Vietnam, pada 1968.

A   A   A   Pengaturan Font

YERUSALEM -Dalam perang di Ukraina, Rusia mengulangi kesalahan Barat di negara yang orang Prancis namakan Indochina dan orang Amerika sebut Vietnam.

"Saya rasa saya mengenal orang-orang Amerika," kata Ho Chi Minh tiba-tiba, mengejutkan dua jurnalis The New York Times sebab ia mengabaikan penerjemahnya dan beralih bicara dengan bahasa Inggris yang fasih.

"Saya tidak mengerti bagaimana mereka (orang Amerika biasa) bisa mendukung keterlibatan mereka dalam perang ini. Apakah Patung Liberty berdiri di atas kepalanya?" katanya dalam wawancara 4 September 1969.

Pengamat dari Hartman Institute, Amotz Asa-El, baru-baru ini mengatakan, dalam Perang Ukraina, Rusia telah mengulangi kesalahan kekuatan Barat di sebuah negara yang disebut Perancis sebagai Indochina, dan Amerika sebut Vietnam.

Dikutip dari The Jerusalem Post, Ho yang menguasai lima bahasa, memiliki posisi yang baik untuk mengajukan pertanyaan ini, secara intelektual dan moral, sebagai seorang mahasiswa sejarah Amerika yang mengagumi George Washington pejuang kemerdekaan yang mengalahkan kekuatan kolonial.

Ho dan perjuangannya kembali mengemuka karena Perang Ukraina membuat banyak orang bertanya-tanya apakah Perang Vietnam berulang lagi. Tidak, kedua perang itu berbeda. Dalam beberapa hal bahkan terbalik. Tetapi pada intinya mereka adalah satu dan sama.

Ukraina berbeda, pertama-tama, secara fisik, dan bukan hanya karena dua kali ukuran Vietnam. Sebuah dataran Eropa dengan musim dingin yang membekukan, teater perang saat ini adalah kebalikan dari hutan dan pegunungan Asia yang rakyatnya mengalami tiga pendudukan kolonial dan satu perang saudara.

Situasi Ukraina juga berbeda secara historis. Tidak seperti penjajah Vietnam yang datang dari jauh, Moskow hanya 90 menit penerbangan dari Kyiv.

Perang Ukraina juga berbeda secara budaya. Orang Vietnam tidak memiliki kenalan sebelumnya dengan penakluk Jepang, Prancis, dan Amerika. Pejuang dan penyerbu Ukraina sama-sama pemeluk agama Kristen Ortodoks, saling memahami bahasa Slavia dan menulis aksara Sirilik yang sama.

Perang Ukraina bahkan lebih berbeda secara sosial. Tidak seperti Ukraina yang sangat industrial, Vietnam adalah masyarakat petani skala kecil. Itu sebabnya kedua perang juga berbeda secara ekonomi. Vietnam pada masa perang tidak memainkan peran dalam ekonomi global, sedangkan Ukraina adalah produsen utama energi, logam, dan biji-bijian.

Itu sebabnya kedua perang ini juga sangat berbeda secara militer. Vietnam tidak memiliki apa pun yang sebanding dengan rudal, meriam, pesawat terbang, tank, kapal dan pelatihan yang dimiliki Ukraina, hasil dari tiga dekade kemerdekaan. Vietnam bertempur dengan senapan, pistol, granat, dan pisau. Pesawat terbang, artileri, dan misil yang mereka gunakan sangat rendah dibandingkan dengan yang dilakukan industri terhadap mereka.

Meski begitu, dalam hal yang paling penting, Rusia mengulangi kesalahan kekuatan Barat di Vietnam.

Bagaimana Rusia membuat kesalahan yang sama di Ukraina seperti yang dilakukan AS di Vietnam?

"Kesalahan pertama Rusia terletak pada pembacaan politik para pemimpinnya, atau lebih tepatnya salah membaca tentang Ukraina ketika mereka memutuskan untuk menyerangnya," kata penulis buku Mitzad Ha'ivelet Ha'yehudi (The Jewish March of Folly, Yediot Sefarim, 2019), sebuah sejarah revisionis dari kepemimpinan politik orang-orang Yahudi.

Seperti Prancis dan Jepang, Kremlin berpikir dapat memanipulasi rakyat yang ditaklukkannya untuk tunduk lewat pemimpin bonekanya. Di Indochina ada Kaisar Bao Dai, seorang playboy hedonistik yang kepemimpinannya tidak sebanding dengan Ho Chi Minh yang karismatik dan pertapa, sama seperti yang direncanakan para kolaborator Moskow di Kyiv, tersesat dalam bayang-bayang Volodymyr Zelensky.

Kesalahan kedua Rusia terletak pada perencanaan militernya, seperti yang dilakukan Amerika di Vietnam, disiapkan untuk jenis perang konvensional yang menjadi keunggulannya. Namun orang-orang yang memutuskan karakter perang adalah para pejuang, dan pilihan mereka adalah perang gerilya di mana orang Amerika abad lalu, seperti orang Rusia abad ini, tidak diperlengkapi dan tidak terlatih.

Ini adalah kesalahan militer pertama yang diulangi Rusia, karena terjebak oleh para gerilyawan yang mencerca ribuan tank mereka, menghindari konfrontasi perang konvensional antara tank versus tank. Ini adalah selain kegagalan Rusia untuk memenuhi tuntutan dasar perang konvensional atas maneuver-manuver skala besar dan logistik jarak jauh.

Kesalahan AS kedua yang diulangi militer Rusia terjadi bulan lalu, ketika Ukraina membodohi Rusia dengan serangan balik di tenggara, sekitar Kherson, hanya untuk mengobarkannya di timur laut, sekitar 450 kilometer. Di sana, tentara Rusia yang tak menyangka akan terjadi dilaporkan melarikan diri dari medan perang, panik dan meninggalkan ribuan korban.

Bagian dari perang saat ini mengingatkan Serangan Tet Vietnam pada musim dingin 1968.

Benar, tak seperti serangan balik Ukraina, langkah itu gagal dalam tujuan utamanya, memicu pemberontakan rakyat melawan AS. Namun, Viet Cong mengejutkan Amerika dengan menyerang secara serempak di seratus lokasi di Vietnam Selatan, sehingga menunjukkan kehadiran, jangkauan, dan koordinasi yang tidak diketahui mereka miliki. Lebih penting lagi, serangan itu mendesak perang ke hutan dan pegunungan pedalaman, di mana infanteri AS terbukti sangat rentan.

Yang paling penting, Serangan Tet membuat orang Amerika yang pro-perang tiba-tiba menyadari akal dan tekad musuh, lalu mempertanyakan efisiensi manajemen perang AS. Seperti itulah yang dialami orang-orang Rusia yang pro-perang ketika terjadi serangan balik Ukraina dalam beberapa pekan terakhir.

Sekarang, dalam menanggapi keberhasilan awal musuh, Rusia mengulangi jawaban pemerintahan Johnson untuk pejuang Vietnam Utara, yakni dengan menggelembungkan jumlah pasukan ekspedisi AS, dari 20.000 tentara pada 1963 menjadi 184.000 pada 1965 dan lebih dari setengahjuta pada 1968.

Itu adalah akibat yang terbaik, sebuah gambaran kuantitas yang maksimum dan imajinasi yang minimum. Tak ada yang dilakukan untuk memadamkan semangat musuh, dan lebih banyak pengelakan panggilan wajib militer oleh orang Amerika yang lebih kaya (seperti Donald Trump) dengan menyerahkan pertempuran kepada mereka yang kurang berpendidikan dan miskin.

Itu juga terjadi sekarang di Rusia, baik dalam keputusan para pemimpinnya untuk merekrut 300.000 tentara lagi, maupun tanggapan rakyat terhadap dekrit ini, yang memilih untuk keluar dari Rusia, seperti halnya orang Amerika yang melarikan diri ke Kanada.

"Saat ini rakyat menjadi tak punya semangat lagi terhadap perang yang sedang menjadi urusan para politisi yang akan terus bermandikan api, dan kaum miskin yang akan mati dalam kobaran api," tutupnya.


Redaktur : Lili Lestari
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top