Semua Warga Harus Waspada, Studi: Curah Hujan Ekstrem dan Banjir Jadi Karakteristik Tahun 2024
Foto udara Tembok Besar seksi Jinshanling yang diselimuti awan usai hujan di wilayah Luanping, Kota Chengde, Provinsi Hebei, China utara (30/6/2024).
Foto: ANTARA/Xinhua/Liu MancangBeijing - Sejumlah rekor baru untuk cuaca ekstrem terjadi pada 2024, yang paling menonjol ditandai dengan hujan lebat dan banjir yang melanda berbagai belahan dunia, menurut para ahli meteorologi China dan asing.
Dalam sebuah makalah yang diterbitkan di jurnal Advances in Atmospheric Sciences pada Sabtu (11/1), tim ilmuwan internasional yang dipimpin oleh para peneliti di Institut Fisika Atmosfer (Institute of Atmospheric Physics/IAP) di bawah naungan Akademi Ilmu Pengetahuan China (Chinese Academy of Sciences/CAS), mengulas cuaca ekstrem yang paling signifikan pada 2024, termasuk hujan lebat, banjir, siklon tropis, dan kekeringan.
Tim tersebut telah melakukan tinjauan tahunan terhadap berbagai peristiwa cuaca ekstrem di seluruh dunia sejak 2022. Tahun ini, mereka menyoroti banjir dan curah hujan ekstrem sebagai karakteristik yang menggambarkan 2024.
Para peneliti tersebut meninjau penyebab dari peristiwa-peristiwa ini dan membahas berbagai tantangan dalam membangun ketahanan iklim.
"Sebagian besar peristiwa ekstrem memiliki elemen acak yang besar, yang bergantung pada fluktuasi cuaca, sementara beberapa peristiwa menjadi lebih mungkin terjadi ketika penggerak berskala besar, seperti El Nino, memengaruhi pola cuaca regional," kata James Risbey, salah satu penulis studi tersebut.
Risbey juga seorang peneliti di Organisasi Penelitian Ilmiah dan Industri Persemakmuran (Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation/CSIRO), badan sains nasional Australia.
Para peneliti menunjukkan bahwa banyak peristiwa curah hujan dan kekeringan ekstrem pada 2024 terkait dengan kondisi atmosfer yang dipengaruhi oleh El Nino selama musim dingin 2023-2024. Namun, mereka menyebut bahwa El Nino bukan menjadi satu-satunya penyebab dari setiap peristiwa cuaca tersebut.
Selain itu, perubahan iklim akibat ulah manusia sejak era praindustri sering kali meningkatkan siklon tropis, kekeringan, curah hujan ekstrem, dan dampak-dampak yang menyertainya, kata Zhang Wenxia, seorang peneliti di IAP.
"Hal ini sejalan dengan fisika dasar. Pemanasan antropogenik meningkatkan kelembapan atmosfer dan permintaan evaporasi, yang masing-masing berpotensi meningkatkan curah hujan dan kekeringan ekstrem," kata Zhang.
Menurut makalah tersebut, meskipun ada kemajuan dalam memahami cuaca ekstrem, tantangan tetap ada. Salah satu masalah yang signifikan yaitu ketidaksesuaian antara tren jangka panjang yang teramati dan simulasi model iklim mengenai presipitasi ekstrem. Ketidaksesuaian ini mungkin berasal dari ketidakpastian dalam observasi, variabilitas iklim internal, atau keterbatasan dalam model-model tersebut.
"Atribusi yang lebih akurat terhadap peristiwa ekstrem diharapkan dapat memberikan informasi untuk pengambilan keputusan, mulai dari pemulihan pascabencana hingga persiapan di masa depan," kata Michael Brody, seorang peneliti di Universitas George Mason.
Makalah ini juga menyoroti kemampuan untuk memprakirakan dan mengomunikasikan risiko cuaca ekstrem.
"Beberapa peristiwa ekstrem pada 2024, seperti Badai Helene, telah diprediksi dengan baik, tetapi dampaknya diperburuk oleh kerentanan komunitas-komunitas yang kurang siap menghadapi perubahan iklim," kata Wang Zhuo, seorang peneliti di Universitas Illinois.