Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Sejarah 1 Maret: Serangan Umum 1 Maret 1949 Pertahankan Kedaulatan Indonesia

Foto : flickr.com

Panglima Besar Jenderal Soedirman.

A   A   A   Pengaturan Font

Hari ini, tepatnya 74 tahun yang lalu, Kota Yogyakarta menyaksikan serangan besar-besaran dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia dalam apa yang dikenal sebagai Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.

Peristiwa nasional yang melibatkan berbagai komponen bangsa mulai dari rakyat biasa, pelajar, pejuang, Keraton, TNI, dan Kepolisian itu merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting maknanya bagi eksistensi dan penegakan kedaulatan negara, yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Meski kedaulatan Indonesia telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, keengganan Belanda untuk mengakui kedaulatan Indonesia yang ditandai dengan adanya Agresi Militer Belanda I dan II, membuat kedaulatan Indonesia dipandang sebelah mata oleh kancah internasional.

Saat itulah Peristiwa Serangan Umum 1 Maret menjadi titik balik dimana kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara ditegakkan pada level internasional. Pengakuan ini bukan lain berasal dari kegigihan bangsa Indonesia yang membuka mata dunia internasional bahwa Indonesia masih ada dan mampu memberikan perlawanan kepada Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.

Melansir naskah "Serangan Umum 1 Maret 1949" oleh Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Peristiwa Serangan Umum 1 Maret dilangsungkan guna mencegah Belanda yang hendak kembali menguasai dan menjajah Indonesia melalui Agresi Militer II.

Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda diketahui melakukan Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta yang kala itu merupakan ibu kota Indonesia.

Belanda bahkan melakukan penangkapan terhadap tokoh-tokoh penting seperti Presiden Indonesia Soekarno, Wakil Presiden Indonesia Mohammad Hatta, juga Perdana Menteri Sutan Syahrir. Sejak itu, Belanda mulai menyebarkan propaganda di dunia internasional bahwa Indonesia sudah tidak ada.

Presiden pertama RI, Soekarno lantas mengirimkan telegram kepada Sjafruddin Prawiranegara yang berisi mandat untuk menjalankan pemerintahan dengan membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Padang, Sumatera Barat. Hal itu dilakukan Soekarno untuk menjaga keutuhan NKRI.

"Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu-Kota Jogyakarta. Djika dalam keadaaan pemerintah tidak dapat mendjalankan kewadjibannja, kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara. Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra," bunyi telegram yang dikirim Soekarno seperti dikutip dari laman Kemendikbud.

Meski telegram itu tak sampai ke dirinya, Sjafrudin tetap mengambil inisiatif untuk melakukan deklarasi PDRI di Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 19 Desember 1948. Saat itu, Kota Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan rakyat Indonesia.

Sementara itu Panglima Besar Jenderal Soedirman memutuskan keluar dari ibu kota dan berjuang melalui perang gerilya. Sepanjang Desember 1948 hingga Februari 1949, terjadilah serangan terus-menerus terhadap pos-pos Belanda oleh gerilyawan TNI.

Tak tinggal diam, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian menggelar rapat pada Februari 1949 untuk membahas nasib Indonesia. Mendengar kabar ini, Sri Sultan Hamengku Buwono IX memutuskan untuk berjuang memperjuangkan kedaulatan Indonesia secara diplomatik di tingkat internasional.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX kemudian menyampaikan gagasannya kepada Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk melakukan serangan umum dari berbagai penjuru. Serangan umum ini lantas menjadi semacam dasar politik dan diplomasi untuk menghentikan rangkaian upaya sepihak dari Belanda.

Dimulainya Peristiwa Serangan Umum 1 Maret

Pada tanggal 1 Maret 1949, pukul 6 pagi setelah sirine tanda berakhirnya jam malam berbunyi, pasukan TNI yang didukung seluruh elemen kekuatan bangsa lantas menyerang Yogyakarta dari segala penjuru.

Dalam naskah yang sama disebutkan bahwa melalui Serangan Umum 1 Maret, pasukan Indonesia berhasil menduduki Yogyakarta selama 6 jam. Berita perebutan kembali Ibu kota Yogyakarta tersebut disiarkan ke seluruh dunia melalui siaran radio. Berita keberhasilan ini membuat negara-negara bentukan Belanda di Indonesia akhirnya mengetahui keadaan Indonesia yang sebenarnya dan berbalik memihak Indonesia.

Di kancah diplomasi, berita Peristiwa Serangan Umum 1 Maret digunakan Dewan Keamanan PBB untuk mendesak Belanda agar kembali berunding dengan Indonesia.

Pada sisi lain, situasi yang tidak kunjung membaik di Indonesia membuat Amerika Serikat mengancam memberikan sanksi ekonomi terhadap Belanda.

Akibatnya, Belanda akhirnya setuju untuk kembali berunding dengan Indonesia yang kemudian menyepakati Perjanjian Roem-Royen pada tanggal 7 Mei 1949. Dalam perjanjian itu, kedua negara menyetujui gencatan senjata, mengembalikan tapuk kepemimpinan negara Indonesia ke Yogyakarta. Keduanya juga setuju mengadakan Konferensi Meja Bundar (KMB).

Pada tanggal 24 Juni 1948, Syafruddin Prawiranegara sebagai pemimpin PDRI memberikan mandat kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan untuk memulihkan keamanan sebelum mengembalikan pemerintahan ke Yogyakarta. Pada tanggal 29 Juni 1949, Ibu kota Negara Republik Indonesia resmi kembali ke Yogyakarta.

Belanda, Republik Indonesia, dan negara-negara bentukan Belanda di Indonesia akhirnya bertemu pada Konferensi Meja Bundar yang berlangsung dari tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949.

Konferensi Meja Bundar akhirnya menghasilkan pengakuan kedaulatan Indonesia. Belanda dan Indonesia melaksanakan upacara pengakuan ini pada tanggal 27 Desember 1949.

Penyerahan Kedaulatan Indonesia oleh Belanda, diberikan oleh Ratu Belanda kepada Mohammad Hatta dan selanjutnya diserahkan kepada Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Tanggal Kemerdekaan Indonesia yang Diakui Belanda

Meski begitu, Belanda justru menganggap kemerdekaan Indonesia baru terjadi pada 27 Desember 1949 dan bukan 17 Agustus 1945.

Alasannya satu hal, jika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, maka Belanda sama saja mengakui bahwa tindakan agresi militer

Dalam artikel bertajuk Dutch Memorial Day: Erasing people after death yang dipublikasi dalam laman The Conversation, ilmuwan sosial dan direktur studi Belanda dan Flemish di University of Michigan, AS, Annemarie Toebosch menyebut dengan mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, maka Belanda secara tidak langsung juga mengaku telah menyerang negara yang berdaulat setelah Perang Dunia II dengan tujuan untuk menjajahnya.

Atas dasar itu, segala pembantaian yang dilakukan Belanda selama agresi militer 1945-1949 yang selama ini disebut Belanda sebagai "tindakan penegakan hukum" tidak lagi dapat disebut demikian.

Singkatnya, semua bentuk "tindakan penegakan hukum" oleh Belanda akan diadili sebagai kejahatan perang apabila negara itu mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Terlebih menurut sejarah resmi Belanda, Indonesia saat itu adalah bagian dari "Belanda". Dengan demikian, Belanda terlepas dari tuduhan kejahatan perang karena membunuh orang-orang dalam negara sendiri bukan kejahatan perang, melainkan sebatas penegakan hukum yang keliru.

Setelah 60 tahun berlalu, Belanda akhirnya secara resmi menerima kenyataan historis bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia terjadi pada 17 Agustus 1945.

Pengakuan Belanda akan kemerdekaan Indonesia dilakukan Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Rudolf Bot, melalui pidato resminya pada 16 Agustus 2005.


Editor : Fiter Bagus
Penulis : Suliana

Komentar

Komentar
()

Top