Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Energi - Pada 2020, Dunia Diprediksi Mengalami Kelangkaan Minyak

Sebelum Terlambat, Segera Buka Hambatan EBT PLTS

Foto : Sumber: Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (R
A   A   A   Pengaturan Font

>>Perlu komitmen kuat negara agar pengembangan PLTS segera terwujud.

>>Big Oils menyadari harus semakin serius mengurangi kadar emisi karbon.

JAKARTA - Sejumlah kalangan menegaskan, pemerintah mesti secepatnya membuka semua hambatan pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) terutama untuk pembangunan Pusat Listrik Tenaga Surya (PLTS), serta mendorong pemanfaatan energi terbarukan dalam berbagai bentuk lain.

Hal itu mendesak dilakukan mengingat munculnya prediksi bakal terjadi kelangkaan minyak dunia dalam waktu dekat karena perusahaan minyak tidak bisa berinvestasi sepenuhnya untuk produksi ke depan.

Selain itu, harga batu bara juga diproyeksikan akan tetap tinggi dalam waktu yang lama sehingga biaya pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) semakin mahal dan memberatkan keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Pakar energi terbarukan dari Universitas Brawijaya Malang, Nurhuda, mengatakan mengingat bakal munculnya persoalan dari sumber energi konvensional, yakni kelangkaan minyak dan kenaikan harga batu bara, maka tidak ada pilihan bagi pemerintah selain segera membebaskan semua hambatan pembangunan PLTS.

"Tentu pemerintah harus mendorong ketercukupan energi lewat PLTS. Sebetulnya untuk ukuran Indonesia, investasi 500 juta dollar AS tidak besar, tapi selama ini selalu ada saja dalihnya, seolah khawatir kroni-kroni yang menikmati keuntungan dari rantai energi konvensional ini terganggu," ungkap dia, ketika dihubungi, Minggu (11/11).

Nurhuda menambahkan, untuk subsidi liquefied petroleum gas (LPG) atau gas minyak bumi yang dicairkan, pemerintah bersedia mengeluarkan dana hingga 39 triliun rupiah, belum untuk energi fosil jenis lainnya.

Padahal di sisi lain, teknologi tenaga surya sudah semakin murah. Jadi, perlu ada insentif dan komitmen kuat negara agar pengembangan PLTS bisa segera terwujud.

"Kalau perlu untuk proyek strategis seperti PLTS itu, negara membangun sendiri pabrik solar selnya. PLTS akan sangat efisien untuk mencukupi kebutuhan energi," jelas dia.

Senada dengan Nurhuda, Direktur Eksekutif Institute for Essenial Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, meminta pemerintah segera merampungkan rancangan peraturan menteri (Rapermen) Surya Atap yang hingga kini mandek di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Hambatan ini, menurut dia, mengancam capaian target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025. Padahal, berdasarkan penghitungan IESR, jika instalasi mencapai 1 gigawatt (GW) pada 2020,

potensi pengurangan pendapatan PLN hanya sekitar 400 miliar rupiah, tetapi ada banyak manfaat lain yang dihasilkan, misalnya penambahan lapangan kerja baru antara 24 ribu hingga 30 ribu orang.

Lalu, munculnya industri turunan, belum lagi potensi penerimaan pajak dari usaha Engineering, Procurement, and Construction (EPC) listrik surya atap. "Jadi dengan Permen ini ada potensi investasi listrik surya atap oleh masyarakat," tutur Fabby.

Dia juga menyebutkan dalam bagian target 23 persen bauran EBT pada 2025 itu sudah termasuk 6,5 GW dari PLTS. Dari hitung-hitungan IESR, separuhnya bisa dipenuhi dari PLTS rooftop atau surya atap, dan sisanya dari PLTS skala besar.

Rendah Emisi

Terkait dengan kelangkaan minyak ke depan, bank investasi asal Amerika Serikat (AS), Goldman Sach, mengungkapkan saat ini, perusahaan minyak besar justru tengah meningkatkan investasi sektor energi yang bersifat rendah emisi.

Langkah itu merupakan reaksi terhadap tekanan penggunaan energi ramah lingkungan baik dari investor maupun ketentuan yang ditetapkan di berbagai negara.

"Pada 2020 kita akan menghadapi kelangkaan minyak yang nyata karena tidak ada yang bersedia lagi berinvestasi penuh pada produksi minyak untuk kebutuhan masa depan.

Transisi energi rendah karbon akan terjadi pada harga minyak tinggi, bukan harga yang murah," kata Kepala Riset Sumber Daya Alam EMEA Goldman Sachs, Michele Della Vigna, dalam acara talk show di CNBC "Squawk Box Europe", akhir pekan lalu.

Della mengatakan perusahaan minyak besar atau Big Oils mulai menyadari jika ingin tetap diminati investor, mereka harus semakin serius mengurangi kadar emisi karbon.

Sementara itu, tim riset Citibank mengemukakan pertumbuhan produksi batu bara Tiongkok yang terbatas akan mendorong kenaikan harga batu bara dua tahun ke depan, baik untuk batu bara jenis thermal maupun coking.

"Sekarang, kami memperkirakan harga batu bara akan tetap tinggi dalam waktu yang lebih lama," ujar Citibank. SB/ahm/ers/WP

Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top