Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Pangan - Petani Tidak Menikmati Kenaikan Harga Pangan

Sebanyak 19,4 Juta Rakyat Sulit Penuhi Kebutuhan Pangan

Foto : ANTARA/Galih Pradipta
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Inflasi pangan sepanjang 2018 dinilai menjadi salah satu penyebab belasan juta rakyat Indonesia kesulitan memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Kenaikan harga pangan yang memberatkan konsumen itu ternyata juga tidak menguntungkan petani. Sebab, sekitar dua pertiga petani Indonesia adalah konsumen yang juga terkena dampak tingginya harga pangan.

Peneliti Indef, Bhima Yudhistira, mengemukakan tidak terpenuhinya kebutuhan pangan sebagian masyarakat Indonesia itu disebabkan berbagai faktor, salah satunya inflasi tinggi. Walaupun inflasi cenderung terkendali, dan sejak 2014 hingga 2017 tidak ada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), tapi inflasi pangan cukup tinggi.

"Januari kemarin inflasi pangan di atas dua persenan secara bulanan, dan harga daging sapi masih di atas 100 ribu rupiah per kilogram. Bawang merah, bawang putih, cabai juga mahal. Jadi, itu yang membuat masyarakat itu tidak bisa menjangkau kenaikan dari hargaharga pangan itu tadi," kata dia, di Jakarta, Selasa (3/4).

Sementara itu, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengungkapkan meskipun Indonesia dinilai mengalami pertumbuhan yang baik, ternyata masih ada 19,4 juta warganya yang tidak dapat memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari. Pemerintah Indonesia berusaha mengatasi masalah ini dengan meningkatkan pasokan melalui peningkatan produksi beras dan mengembangkan tanaman bernilai lebih tinggi. Namun, strategi ini terbukti tidak efektif.

Anggota Dewan Pembina CIPS, Arianto A Patunru, mengatakan fokus pemerintah pada pasokan pangan nasional mengacu pada pemahaman yang ketinggalan zaman tentang ketahanan pangan. Ketahanan pangan hanya dimaknai sebagai ketersediaan domestik dan stabilitas pasokan pangan.

"Sejak pertengahan 1990- an, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB sudah menambahkan akses individu (keterjangkauan makanan dan preferensi makanan individu) dan pemanfaatan (keamanan pangan dan manfaat gizi) untuk mencapai yang disebut ketahanan pangan. Kedua dimensi ini mencerminkan sisi permintaan keamanan pangan dan hal ini yang diabaikan pemerintah dalam upaya menjamin keamanan pangan," jelas Arianto.

Dia menilai harga daging sapi, beras, dan beberapa komoditas lainnya di Indonesia telah melambung di atas harga pasar internasional. Harga makanan eceran sering kali jauh lebih tinggi di Indonesia daripada di negara tetangga dan negara yang jauh lebih kaya. Harga yang tinggi ini sudah membebani konsumen hingga 98 miliar dollar AS (sekitar 1.342 triliun rupiah) antara 2013 hingga 2015, bahkan melebihi jumlah pungutan Kebijakan Pertanian Bersama Uni Eropa pada konsumen Eropa.

Selain melambungnya harga pangan yang memberatkan konsumen, petani justru tidak mendapatkan keuntungan dari hal ini. Sebanyak dua pertiga petani Indonesia adalah konsumen yang terkena dampak dari tingginya harga pangan.

Kontraproduktif

Bhima menilai pemenuhan bahan pangan melalui impor sebenarnya kontraproduktif terhadap produksi pangan di dalam negeri. Akibatnya, kesejahteraan petani semakin menurun. "Upah riil itu terus turun, itu menunjukkan daya beli dan kesejahteraan petani juga turun. Apalagi sebagian besar penduduk miskin itu ada di sektor pertanian," jelas dia.

Dengan kondisi seperti ini, maka tidak ada lagi insentif untuk menjadi petani. Akhirnya, Indonesia sulit mewujudkan kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan dimaksudkan sebagai suatu kekuatan untuk mengatur masalah pangan secara mandiri yang didukung oleh ketahanan pangan, terutama kemampuan mencukupi pangan dari produksi dalam negeri dan pengaturan kebijakan pangan yang dirumuskan dan ditentukan bangsa sendiri.

ahm/SB/WP

Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top