Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Piutang Negara

Satgas Harus Buka Identitas Pengemplang BLBI Rp58 Triliun

Foto : ISTIMEWA

BADIUL HADI Manajer Riset Seknas Fitra - Publikasi juga penting sebagai bentuk keseriusan pemerintah melibatkan masyarakat dalam pengawasan debiturdebitur tersebut, termasuk perkembangan penyelesaiannya dari waktu ke waktu.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) diminta menindak tegas para pengemplang piutang negara yang selama 22 tahun tidak melunasi kewajibannya. Selain tegas menagih, Satgas juga dituntut berlaku adil kepada semua pengemplang dengan menyebutkan secara gamblang identitas dan nilai tunggakan mereka.

Hal itu mengacu pada pernyataan Menteri Koordinator bidang Politik dan Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Machfud MD, sebelumnya yang mengatakan pemerintah sudah memberi banyak kemudahan, bahkan utang yang diberikan sesuai dengan kondisi krisis saat itu (1998).

"Ada yang utangnya mencapai 58 triliun rupiah, namun berkurang tinggal 17 persen dari total utang. Sekarang sudah begitu masih juga mau ngemplang," tegas Mahfud, yang juga sebagai Ketua Dewan Pengarah Satgas BLBI.

Menanggapi pernyataan Mahfud itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan Satgas tidak boleh tebang pilih dan mengategorikan ada yang kooperatif dan ada yang tidak. Toh, pada dasarnya semua tidak punya iktikad baik membayar kewajibannya kepada negara.

Buktinya, selama 22 tahun, mereka bebas melenggang dan berbisnis, bahkan hidup nyaman di luar negeri seperti Singapura, tanpa punya beban dan etika moral yang baik. Padahal, akibat dari ulah mereka, negara dan rakyat Indonesia harus menanggung beban bunga.

"Jadi apalagi, Satgas tidak perlu memberi perlakuan khusus. Apalagi obligor yang utangnya 58 triliun rupiah tapi baru membayar sebagian kecil. Itu pun dengan menyerahkan aset bodong. Aset-asetnya pun dijaminkan kembali ke pihak nominee dia, padahal sudah milik negara, ini korupsi terbesar dalam sejarah RI, korupsi baru di atas BLBI dan layak dibawa ke ranah pidana," kata Badiul.

Pentingnya membuka ke publik, kata Badiul, agar yang bersangkutan merasa bersalah dan tidak menganggap dirinya dan perusahaan selalu dilindungi negara. "Publikasi juga penting sebagai bentuk keseriusan pemerintah melibatkan masyarakat dalam pengawasan debitur-debitur tersebut, termasuk perkembangan penyelesaiannya dari waktu ke waktu," tegas Badiul.

Publikasi juga sebagai bagian dari hukuman sosial. Sebab, bila ditutupi terus-menerus obligor dan debitur ini luput dari hukuman sosial. Kita sering punya pengalaman, tiba-tiba menghilang entah ke mana. Makanya perlu dibuka, terutama yang punya utang 58 triliun rupiah dan kini utangnya tersisa 17 persen. Siapa orangnya," kata Badiul.

Satgas pun harus transparan menjelaskan kenapa dari nilai utangnya 58 triliun rupiah, sekarang berkurang tinggal 17 persn. Mana aset yang sudah diserahkan, itu pasti aset bodong," kata Badiul.

Kaya Raya

Diminta pendapatnya secara terpisah, Ekonom STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan obligor terbesar yang mempunyai kewajiban 58 triliun rupiah itu kini sudah sangat kaya raya dengan bisnis yang menguasai seluruh sendi masyarakat. Maka sangat tidak adil jika yang ditagih hanya 17 persen dari total utangnya. Tidak adil kepada obligor lain sekaligus kepada rakyat Indonesia.

"Obligor ini salah satu orang terkaya di Indonesia sejak dulu sampai saat ini. Perlu di-check lagi aset yang dulu diserahkan, kalau aset bodong bagaimana? Kenapa dia tidak disebut namanya oleh Satgas BLBI? tanya Aditya Hera.

Aditya mengatakan kebaikan hati pemerintah yang disebut Menko Polhukam dengan memperkecil nilai utang obligor pada masa krisis moneter harus ditinjau ulang. Bukan kebaikan hati kalau kemudian indikasi ke arah korupsi jauh lebih besar.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top