Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Profesor Azyumardi Azra tentang Radikalisme

Saat Ini Pancasila Menghadapi Ancaman Laten Radikalisme

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Mereka yang radikal masih tetap eksis karena memang didukung oleh konstelasi politik global di mana ada kelompok serupa yang menjadi afiliasinya. Dulu, Al Qaeda, sekarang ISIS.

Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Terdiri dari ragam etnis dan agama. Kemunculan kelompok radikal, ditambah kian menguatnya sikap intoleransi yang diperlihatkan beberapa kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lainnya yang berbeda, membuat perbedaan yang selama ini diikat dalam persatuan terancam.

Indonesia memang punya Pancasila. Ideologi yang bisa menyatukan kemajemukan. Tapi, radikalisme dan intoleransi yang menguat, sedikit demi sedikit mengikis kemajemukan. Ideologi Pancasila pun terancam. Untuk mengupas itu lebih lanjut Koran Jakarta mewawancarai cendekiawan muslim yang juga mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Profesor Azyumardi Azra. Berikut petikan wawancaranya.

Agama mana pun spiritnya adalah membawa semangat perdamaian. Tapi, akhir-akhir ini muncul semangat beragama yang tak ramah. Menafikan perbedaan, bahkan memusuhinya. Apa yang salah dalam kehidupan beragama saat ini?

Ya, agama kini ambigu, mengajarkan damai, tapi juga atas nama agama, penganut agama melakukan kekerasan. Kebangkitan agama dalam tiga dasawarsa terakhir menampilkan fenomena agama yang kontradiktif. Antusiasme beragama, politisasi agama, dan juga politik identitas agama yang justru tidak kondusif untuk penciptaan dunia lebih damai.

Apakah radikalisme sudah jadi ancaman yang riil di Indonesia saat ini?

Saat ini, Pancasila menghadapi ancaman laten, yakni radikalisme. Karena itu, Pancasila itu kalau nggak hati-hati berhadapan dengan ideologi lain itu bisa kalah. Karena itu ancamannyaa riil. Ancaman radikalisme itu riil.

Kenapa radikalisme itu jadi ancaman serius bagi Pancasila?

Watak dasar radikalisme agama demikian sungguh bertolak belakang dengan Pancasila. Sebagai fondasi dan jiwa yang mendasari bangunan bangsa dan negeri ini, kehadiran Pancasila pertama-tama justru melindungi dan menjamin keberagaman identitas primordial masyarakat bangsa Indonesia. Dalam arti itu, Pancasila menuntun bangsa ini untuk bersikap inklusif, moderat dalam menampilkan identitas kesukuan dan keagamaan kita, toleran dan gotong royong sebagai kepribadian khas bangsa Indonesia yang takdirnya adalah majemuk.

Oleh Pancasila, keberagaman tidak dibungkam dan disamakan, melainkan dibiarkan hidup berkembang. Hal itu terlihat nyata pada kebijakan negara yang menjamin hak beragama dan beribadah setiap warganya sesuai dengan nilai agama dan kepercayaannya masing-masing. Dan apa pun latar belakang primordial warga bangsa ini, setiap orang memiliki kesetaraan di hak dan kewajiban di hadapan hukum negara.

Menangkal radikalisme itu harus dimulai dari mana?

Menangkal munculnya radikalisme harus dimulai dari keluarga. Ini tanggung jawab kita semua, dimulai dari keluarga untuk menghormati perbedaan agama hingga budaya yang sangat majemuk. Indonesia ini paling kaya dari berbagai sudut. Wajar jika ada menyebut bahwa bangsa ini mendapat berkah dari keberagaman. Namun, tidak selesai di situ karena perlu ditumbuhkan rasa keberagaman mulai dari keluarga, ke sekolah, hingga dalam masyarakat. Sehingga perlu mengembangkan paham agama dan kepercayaan yang toleran karena tidak ada paham monolistik.

Apakah radikalisme dan intoleransi tumbuh subur karena pengaruh dari konstelasi politik yang diperagakan oleh para elite di negeri ini?

Pemilu kita ini cenderung kian menjadi rutinitas. Di luar kerutinan, hanya ada ketegangan dan peningkatan suhu politik. Penyebabnya sering bukan murni politik, melainkan karena penggunaan dan penyalahgunaan isu SARA dalam kontestasi politik. Padahal, isu SARA tidak hanya divisif, tetapi juga membuat merosotnya kualitas demokrasi.

Kualitas demokrasi terkait tidak hanya dengan pemilu yang dilaksanakan regular. Ada faktor lain yang membuat meningkatnya kualitas demokrasi, terutama budaya politik yang semestinya kompatibel dan memperkuat demokrasi.

Anda menyebut soal elite politik yang kian oligarkis. Sejauh mana gejala itu?

Ya dapat kita lihat bertahannya oligarkisme politik dalam parpol dan lembaga politik lain, seperti parlemen. Dalam parpol, oligarki terwujud ketika kebijakan dan keputusan partai hanya ditentukan elite politik puncaknya. Gejala ini biasa disebut polito-cracy- kekuasaan politik ditentukan segelintir politisi.

Oligarki ini kian menguat ketika parpol mengalami personifikasi dengan orang kuat. Bisa pendiri partai atau figur lain yang menjadi pemimpin partai karena kemampuan pendanaan atau karena posisi tinggi jabatan publik yang dipegang sebelum mendapat durian runtuh menjadi ketua partai.

Polito-cracy sangat mewarnai politik Indonesia yang sekali lagi menjadikan demokrasi Indonesia sebagai flaw democracy. Fenomena ini juga terlihat dalam penetapan calon-calon yang bertarung dalam pilkada atau penetapan pimpinan di parlemen. Kekuatan politik di luar oligarki politik, apalagi warga pemilih akar rumput sama sekali tidak didengar aspirasinya.

Jadi, apa yang harus dilakukan agar kualitas demokrasi kita meningkat

Jika kita ingin demokrasi di Indonesia meningkat kualitasnya, budaya politik perlu direformasi. Pertama-tama, elite politik dalam parpol dan lembaga politik lain perlu melakukan redemokratisasi. Ini merupakan tantangan yang tidak mudah. Namun, prosesnya bisa dimulai degan revitalisasi dialog dan musyawarah di antara lingkungan elite politik, baik secara internal, maupun eksternal, dengan kekuatan politik lain.

Selanjutnya, perlu diselenggarakan dialog publik yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan politik dan demokrasi. Dialog semacam ini sangat penting untuk mengembalikan demokrasi ke pangkalnya yakni kedaulatan politik berada di tangan rakyat untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. agus supriyatna/P-4


Redaktur : Khairil Huda

Komentar

Komentar
()

Top