Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Harus Tetap Prioritas

Foto : Istimewa

Ilustrasi kekerasan seksual

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Langkah DPR yang mengusulkan untuk menarik Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Prolegnas Prioritas 2020 dikritik. Harusnya, pembahasan RUU PKS tetap menjadi prioritas. Bukan diusulkan untuk ditarik dari Prolegnas Prioritas 2020.

Erasmus AT Napitupulu,Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengatakan itu di Jakarta, Minggu (12/7). Menurut Erasmus, pada Selasa, 30 Juni 2020, Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Marwan Dasopang menyampaikan dalam rapat Badan Legislatif DPR bahwa Komisi VIII DPR mengusulkan RUU PKS untuk ditarik dari Prolegnas Prioritas 2020.Ia menyayangkan usulan tersebut.

"Alasan yang disampaikan oleh Marwan Dasopang menurut pemberitaan media adalah karena pembahasan RUU PKS terlalu sulit untuk dilakukan," kata Erasmus.

Erasmus berpendapat sulitnya pembahasan RUU PKS secara materi tidak seharusnya menjadi penghalang pembahasan RUU PKS. Mestinya itu menjadi cambuk bagi DPR dan pemerintah bahwa melindungi korban kekerasan seksual adalah hal yang kompleks. Negara harus hadir dalam perumusan kebijakan dan implementasi. DPR harus segera menjamin pembahasan RUU PKS, tetap harus menjadi prioritas.

"RUU PKS merupakan RUU usulan dari DPR yang sudah dibahas sejak periode DPR 2016-2019. Pada periode yang baru, RUU PKS kemudian dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2020 untuk segera dibahas bersama dengan Pemerintah," katanya.

Sayangnya, kata dia, pembahasan RUU PKS pada periode lalu terus terjegal karena adanya perdebatan yang masih jauh membahas substansi secara mendalam. Dalam periode baru di tahun 2020 ini, belum terdapat pembahasan resmi RUU PKS. Namun kabar terakhir justru Komisi VIII DPR menyatakan menarik RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020.

"DPR dan pemerintah perlu kembali mengetahui RUU PKS dihadirkan dengan semangat perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, yang masih sulit memperoleh perlindungan dalam aspek penanganan kasus, layanan bantuan langsung korban hingga aspekpemulihan komprehensif," ujarnya.

Sementara di lapangan, lanjut Erasmus, berbagai kasus kekerasan seksual terus saja terjadi tanpa adanya intervensi yang berarti dari negara. Padahal negara adalah sebagai pihak yang memiliki kewajiban untuk memenuhi hak korban atas perlindungan dan juga pemulihan.

"Kita bisa lihat dari kasus Baiq Nuril Maknun, yang menjadi korban kekerasan seksual atasannya. Dia seharusnya diberikan perlindungan untuk dapat melaporkan kasusnya justru dijadikan korban dengan bayang-bayang kriminalisasi," ungkapnya.

Korban-korban selain Baiq Nuril, menurut Erasmus,jelas akan takut untuk berjuang memperoleh keadilan jika masih dibayangi ketakutan kriminalisasi. Termasuk stigma aparat penegak hukum yang justru menyalahkan korban.

Peneliti ICJR, Genoveva Alicia, menambahkan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembahasan RUU PSK agar pembahasan dilakukan secara komprehensif.Pertama, minimnya akses pendampingan bagi korban kekerasan seksual. Berdasarkan data BPS pada tahun 2018 tercatat jumlah kasus perkosaan adalah 1.288 sedangkan pencabulan tercatat 3.970. Paling tidak terdapat 5247 kasus kekerasan seksual pada 2018, sedangkan pada tahun 2017 berjumlah 5.513 kasus. Namun, akses perlindungan terhadap korban kekerasan seksual sangat minim.

"Berdasarkan Laporan Tahunan LPSK 2019, korban kekerasan seksual yang terlindungi hanya 507 orang. Padahal, menurut Catahu Komnas Perempuan 2020, sepanjang 2019 setidaknya dari 3.062 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah publik dan komunitas, 58 persen diantaranya adalah merupakan kasus kekerasan seksual," ujarnya.

Kedua, kata dia, Pemerintah abai dengan pemulihan korban kekerasan seksual, dengan mengeluarkan pembiayaan korban kekerasan seksual dalam jaminan kesehatan. Pemerintah pada 18 September 2018 lalu menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang mengecualikan pelayanan kesehatan untuk korban kekerasan seksual. Berdasarkan Perpres tersebut, luka akibat kekerasan tidak dikategorikan sebagai penyakit. Sehingga sejak pemberlakuan Perpres tersebut, biaya visum et repertum dan pengobatan yang dijalani perempuan dan anak korban kekerasan tidak ditanggung negara.

"Baru pada Januari 2020 lalu kemudian, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengusulkan kepada Presiden Jokowi untuk memberikan lampu hijau kepada Kementerian PPPA untuk mengisi kekosongan dalam pembiayaan visum dan pengobatan luka kekerasan menggunakan Dana Dekonsentrasi di Kementerian Kesehatan ataupun Dana Alokasi Khusus," katanya. ags/N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Agus Supriyatna

Komentar

Komentar
()

Top