Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Antisipasi Krisis - Rupiah Sentuh Level Terlemah sejak Krisis 1998

Rupiah Terus Merosot, Bunga BI Belum Atraktif

Foto : ANTARA/Indrianto Eko Suwarso

>>Dari level terendah, The Fed sudah menaikkan bunga 200 bps, sedangkan BI baru 150 bps.

>> Kenaikan harga minyak global memberikan sentimen negatif pada kondisi fiskal Indonesia.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Nilai tukar rupiah terus merosot hingga menembus level psikologis 15.000 rupiah per dollar AS. Bahkan, mata uang RI tersebut mencapai posisi terlemah dalam 20 tahun terakhir atau sejak krisis keuangan 1998.

Sejumlah kalangan menilai setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan tekanan depresiasi pada rupiah, yakni kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang dianggap masih kurang menarik dibandingkan dengan bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed. Selain itu, tren kenaikan harga minyak global yang jauh melampaui asumsi APBN juga memunculkan sentimen negatif pada kondisi fiskal Indonesia.

Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah di pasar spot, Selasa (2/10), ditutup pada level 15.043 rupiah per dollar AS, atau melemah 132 poin (89 persen) dibandingkan posisi penutupan Senin (1/10) di tingkat 14.911 rupiah per dollar AS. Sepanjang tahun ini (hingga 2 Oktober), mata uang RI itu terdepresiasi hampir 11 persen dan menjadi terlemah kedua di Asia setelah rupee India.

Analis FXTM, Lukman Otunuga, mengatakan meskipun BI telah menaikkan suku bunga acuan untuk kelima kalinya sejak pertengahan Mei 2018 menjadi 5,75 persen guna mempertahankan rupiah dan membendung arus modal keluar, mata uang lokal tetap tertekan oleh penggerak eksternal.

"Bunga acuan gagal untuk membatasi pelemahan rupiah. Apresiasi dollar akan tetap didukung oleh ekspektasi kenaikan suku bunga AS dan ketegangan perdagangan AS-Tiongkok. Rupiah bisa terus melemah," jelas dia, di Jakarta, Selasa. Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, Tony Prasetiantono, menilai ada dua penyebab pelemahan rupiah.

Pertama, pasar merasa bunga acuan BI 7-day Reverse Repo Rate belum cukup atraktif bagi investor untuk memegang rupiah. "Jika dihitung dari level terendahnya, The Fed sudah menaikkan suku bunga sampai 200 bps (basis poin). Sedangkan BI baru 150 bps dari 4,25 persen ke 5,75 persen. Berarti memang perlu suku bunga yang lebih atraktif lagi," jelas Tony.

Faktor kedua, imbuh dia, adalah kenaikan harga minyak global yang memberi sentimen negatif bagi kondisi fiskal Indonesia. "Kini, harga minyak Brent sudah mencapai 83 dollar AS per barel, jauh melebihi asumsi harga minyak APBN di level 48 dollar AS per barel. Menurut Tony, rupiah akan cenderung stabil di level 15 ribu hingga akhir tahun ini jika BI kembali menaikkan tingkat suku bunga acuan dan pemerintah bisa segera mengerem impor, sehingga defisit transaksi berjalan bisa ditekan di bawah tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Sedangkan pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, M Nafik, menyatakan faktor dinamika ekonomi global berperan kuat pada pelemahan rupiah belakangan ini. Namun, hal itu tidak bisa dibiarkan begitu saja, mengingat persentase pelemahan rupiah jauh lebih besar dibanding mata uang negara lain.

"Ini yang harus dijadikan perhatian pemerintah. Jangan karena alasan eksternal kita seperti diam saja. Harus ada tindakan," tukas dia. Menurut Nafik, kenaikan bunga acuan BI tidak akan cukup sehingga harus ada kebijakan yang tegas untuk mengendalikan impor. Perlu diingat, kebutuhan pokok dan barang konsumsi banyak yang impor, sehingga ikut membebani kurs rupiah.

"Intervensi BI juga ada batasnya. Khawatirnya kalau impor tidak dikendalikan dan cadangan devisa terus terpakai, pelemahan berikutnya semakin tidak dapat dikendalikan," papar dia.

Sulit Diprediksi

Sementara itu, Lukman mengemukakan sulit untuk memprediksi sampai kapan rupiah terus melemah, terutama ketika mengingat nilai tukar sudah mencapai level terendah sejak 20 tahun terakhir. Apalagi, faktor eksternal juga berperan kuat dalam pelemahan rupiah.

"Rupiah mungkin tetap tertekan dalam jangka pendek, di tengah menguatnya dollar dan kekhawatiran atas defisit transaksi berjalan yang semakin melebar. Ini bisa diperparah jika laporan pekerjaan di AS melebihi ekspektasi pasar," jelas dia. Dari sisi eksternal, faktor utama risiko rupiah berasal dari kebijakan moneter AS.

The Fed pada Desember nanti kemungkinan besar masih akan menaikkan suku bunga. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate pada rapat 19 Desember mencapai 78,5 persen.

ahm/SB/WP

Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top