Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Gizi Buruk I Diperlukan Perbaikan dari Berbagai Faktor

Rp47 Triliun untuk Atasi Kekerdilan

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Kurangnya kerja sama dari berbagai pihak merupakan hambatan untuk mencapai target Indonesia bebas masalah kekerdilan.

JAKARTA - Kendala yang dihadapi dalam penanganan masalah kekerdilan anak (stunting) di Indonesia adalah lemahnya kerja sama antarkementerian dan lembaga. Di Indonesia, kerja sama dalam satu lembaga saja sulit, apalagi banyak lembaga. Hal tersebut dikatakan oleh Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo, dalam seminar bertajuk "Strategi Multisektor dalam Penanganan Stunting" di Jakarta, Rabu (15/8).

Mardiasno mengatakan Indonesia memiliki anggaran yang cukup dalam menangani permasalahan kekerdilan. Ia mencatat, dana APBN yang dikucurkan untuk menangani kasus kekerdilan pada 2018 sebesar 47 triliun rupiah yang dialokasikan ke sejumlah kementerian lembaga ditambah 93 triliun rupiah yang digelontorkan ke pemerintah daerah dan disalurkan melalui dana desa.

"Jadi sebetulnya kita tidak lack of money (kekurangan uang), hanya poor coordination, poor action," katanya. Mardiasmo mengakui bahwa kurangnya kerja sama dari berbagai pihak merupakan hambatan untuk mencapai target Indonesia bebas masalah kekerdilan. "Kita bisa kerja. Tapi kalau disuruh kerja sama, itu repot.

Apalagi kaitannya dengan uang, aduh. Di sini itu, kerja sama multi sektor itu harga paling mewah, karena sulitnya koordinasi itu," katanya. Padahal, penanganan masalah kekerdilan di Indonesia tidak bisa ditangani satu kementerian/lembaga saja, tapi membutuhkan kerja sama banyak pihak karena masalah tersebut merupakan dampak dari sejumlah faktor yang saling terkait.

Dalam kesempatan tersebut, pihaknya meminta keseriusan para pemangku kepentingan di antaranya kementerian/lembaga terkait, pihak swasta dan LSM untuk merancang strategi yang tepat dalam menangani kasus kekerdilan di sejumlah daerah. "Tidak usah banyak teori, mapping (pemetaan) sudah cukup.

Tinggal bagaimana strategi eksekusinya di lapangan," katanya. Berdasarkan data riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2013, jumlah anak Indonesia yang mengalami kekerdilan mencapai sembilan juta orang atau 37 persen dari penduduk usia anak Indonesia. Tercatat ada 15 kabupaten/kota dengan jumlah kasus kekerdilan tertinggi yakni Aceh Tengah, Rokan Hulu (Riau), Lombok Utara (NTB), dan NTT diantaranya Manggarai Timur, Sumba Barat Saya, Sumba Tengah, Ngada, Timor Tengah Selatan dan Sabu Raijua.Selanjutnya Seram Bagian Barat (Maluku) dan Papua yakni Tambrauw, Intan Jaya, Dogiyai, Lanny Jaya dan Sorong Selatan.

Kurang Perhatian

Sementara itu, Asisten Deputi Ketahanan Gizi, Kesehatan Ibu dan Anak dan Kesehatan Lingkungan Kementerian Koordinator Bidang Pengembangan Manusia dan Kebudayaan, Meida Octarina, mengatakan hingga saat ini masih ada pemerintah daerah yang kurang memperhatikan penanganan masalah kekerdilan.

Ia menyebutkan ada beberapa pemimpin daerah yang belum melihat masalah kekerdilan sebagai masalah prioritas yang harus diselesaikan. Menurut dia, pemerintah pusat sangat serius untuk menurunkan angka kekerdilan di Indonesia. Ada sejumlah program yang dijalankan berbagai kementerian dan lembaga untuk menurunkan jumlah kasus kekerdilan di 100 kabupaten dan 1.000 desa di Indonesia.

Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Sekretaris Wapres RI, Bambang Widianto berpendapat, penanganan masalah stunting anak di Indonesia tidak dapat diselesaikan dengan perbaikan gizi saja, namun perlu perbaikan di banyak sektor. Sebab, kata dia, masalah kekerdilan muncul akibat dari adanya sejumlah masalah yang terjadi di masyarakat, di antaranya kemiskinan, pendidikan yang rendah, gizi buruk, rendahnya kesadaran kesehatan dan tidak tersedianya fasilitas sanitasi yang memadai di rumah warga. eko/Ant/E-3

Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top