Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Kebutuhan Pokok I Negara Harus Bangun Industri yang Serap Produksi Petani

Rp100 Triliun dari Dana Desa dan Impor Gandum Cukup untuk Serap Pangan Lokal

Foto : Sumber: BPS, Kemendag – Litbang KJ/and
A   A   A   Pengaturan Font

» Tarif 0 persen untuk impor gandum dan pengenaan 11 persen PPN mocaf dan porang sangat tidak fair.

» Kekuatan importir terigu sangat kuat dibandingkan daya tawar petani singkong. Negara kalah sama importir.

JAKARTA - Diversifikasi pangan yang digaungkan pemerintah seharusnya diterapkan dengan benar yakni memanfaatkan pangan lokal sebagai substitusi pangan impor yang selama ini merampok devisa negara seperti impor terigu yang menggerus devisa hingga 37 triliun rupiah per tahun.

Devisa yang digunakan untuk impor tersebut semestinya bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan industri pangan dalam negeri yang menyerap produk pertanian lokal milik petani seperti mocaf (modified cassava flour), sagu, dan porang.

Selain dari dana devisa impor, pemerintah juga bisa mengoptimalkan dana desa yang mencapai 73 triliun rupiah per tahun untuk membangun sentra-sentra produksi pangan lokal, sehingga bisa menciptakan dampak berganda atau multiplier effect terhadap perekonomian di desa karena yang dibangun industri berbasis perdesaan.

Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dwijono Hadi Darwanto, yang dihubungi Koran Jakarta, Kamis (21/10), mengatakan, dana untuk devisa impor ditambah dana desa yang total nilainya 100 triliun rupiah, bisa digunakan membangun industri pangan dalam negeri yang dapat menyerap 40 juta ton mocaf, sagu, dan umbi-umbian.

"Itu yang dinamakan diversifikasi, negara harus membangun industri yang mampu menyerap tanaman petani. Bayangkan berapa besar industri yang bisa dibangun mengganti impor bahan baku mi instan dan juga beras. Tidak hanya menyetop impor terigu, tetapi juga akan menghentikan impor beras. Kalau kapasitas penyerapan bisa 40 juta ton maka 30 juta ton di antaranya bisa diekspor," kata Dwijono.

Dwijono mengaku pernah membentuk tim di UGM yang mengenalkan tepung kasava dan pati kasava yang dapat mengurangi kebutuhan gandum pada roti hingga 30 persen. Tetapi, karena impor gandum tarifnya 0 persen sehingga harga tepung terigu jadi lebih murah. Begitu pula dengan mocaf, tentu sulit bisa bersaing dengan tepung terigu yang tarif bea masuknya 0 persen.

"Seharusnya pemerintah seimbang dalam perlakuan terhadap terigu dan mocaf. Kalau terigu 0 persen maka produksi mocaf juga harus 0 persen kalau diekspor. Bahkan, yang impor itu seharusnya dikenakan tarif," tandas Dwijono.

Kebijakan pemerintah menetapkan tarif 0 persen untuk impor gandum dan mengenakan 11 persen Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mocaf, tambah Dwiyono, sangat tidak fair. Sebab, impor jelas-jelas menghabiskan devisa, tapi justru produksi dalam negeri yang dihambat.

Badan Pangan, katanya, perlu berupaya keras dengan mengoordinir penggunaan dana desa dengan Kementerian Desa untuk membangun industri tepung dalam negeri yang mandiri.

Sebuah Paradoks

Ketua Pusat Studi Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Universitas Trunojoyo, Bangkalan, Madura, Ihsannudin, mengatakan kalau tarif impor terigu 0 persen sebagai bagian untuk menekan harga maka itu menjadi sebuah paradoks di tingkat produsen, dengan pemberlakuan PPN 11 persen produk mocaf.

"Ini menjadi semacam apatisme pada progresivitas produk mocaf yang nantinya mampu benar-benar menjadi substitusi terigu. Padahal justru perlu ada instrumen kebijakan yang mendorong agar mocaf memperoleh harga yang makin kompetitif hingga di tingkat produsen," kata Ihsannudin.

Secara terpisah, Peneliti Ekonomi Indef, Nailul Huda, mengatakan rencana diversifikasi pangan masih jauh dari target baik programnya apalagi di lapangan. "Kekuatan importir tepung terigu nampaknya sangat kuat dibandingkan kekuatan dan daya tawar dari petani singkong. Negara kalah sama importir," kata Nailul.

Menurut dia, diversifikai pangan di Indonesia itu adalah mengurangi konsumsi makanan pokok seperti beras dan disubstitusi dengan makanan seperti mi instan yang bahan bakunya harus diimpor. "Jadi, sia-sia saja program diversifikasi selama ini, akan jadi program mubazir," katanya.

Sementara itu, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Said Abdullah, mengatakan pemerintah sedang diuji keseriusannya melakukan diversifikasi pangan dari komoditas impor seperti gandum dan turunannya menjadi tepung tepungan dari bahan lokal seperti mocaf. "Ini perlu komitmen politik agar mocaf dan sejenisnya bisa berkembang dan mampu bersaing dengan terigu," tutup Said.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top