Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Ekonomi Global - The Fed Akan Menunda Pemangkasan Suku Bunga Acuan FFR

RI Rentan Terhadap Fluktuasi Ekonomi Global

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Perekonomian global masih dibayangi risiko ketidakpastian, terutama dari timbulnya potensi resesi ekonomi di Amerika Serikat (AS).

Kondisi itu makin parah karena sentimen yang memproyeksikan Bank Sentral AS, Federal Reserve atau the Fed akan menunda pemangkasan suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR).

Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Sri Mulyani Indrawati, dalam konferensi pers APBN KiTa, di Jakarta, Selasa (13/8), mengatakan potensi resesi itu muncul setelah data ketenagakerjaan di AS dilaporkan yang membuat pasar bereaksi sedemikian volatile-nya karena mengharapkan Fed Fund Rate akan turun, bahkan ada yang berspekulasi akan ada pertemuan emergency sebelum September.

"Ternyata, itu belum terjadi, dan menandakan market begitu cepat berubah dari sisi psikologis berdasarkan issuance data yang terjadi dan dampaknya luar biasa besar," kata Menkeu.

Saat ini, the Fed masih menahan suku bunga acuannya di level 5,25-5,50 persen.

Dengan tingkat suku bunga yang masih tinggi beserta tingkat pengangguran AS yang naik tipis menjadi 4,0 persen, pemerintah AS khawatir akan mengalami hard landing.

Volatilitas perekonomian domestik AS itu, kata Menkeu, menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan ketidakpastian ekonomi global terus berlanjut.

Berdasarkan laporan Departemen Tenaga Kerja AS terakhir, para pemberi kerja AS menambahkan 272.000 pekerjaan pada Mei 2024, lebih tinggi dari yang diperkirakan.

Meskipun demikian, tingkat pengangguran naik tipis menjadi 4,0 persen.

"Namun, kemarin dengan data yang muncul labor market agak soft mereka khawatir akan terjadi hard landing.

Inilah yang terjadi pada Minggu lalu yang menjelaskan volatilitas yang cukup besar dari sisi perekonomian AS yang berpengaruh getarannya ke seluruh dunia," katanya.

Tidak hanya di AS, Eropa hingga Tiongkok juga tengah mengalami pemulihan ekonomi yang masih lemah dan rentan (fragile).

Prospek pertumbuhan ekonomi Tiongkok melemah di tengah krisis sektor properti serta mengingat situasi tensi dagang dengan AS.

Tekan Investasi dan Konsumsi

Manajer Riset Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi, mengatakan setidaknya ada dua dampak dari ketidakpastian tersebut terhadap ekonomi AS.

Aktivitas ekonomi secara keseluruhan akan menurun, kalau suku bunga acuan masih dipertahankan tinggi, karena biaya pinjaman untuk bisnis juga tinggi.

Pada level konsumen atau masyarakat, kondisi tersebut bisa menekan investasi dan konsumi.

"Potensi yang terjadi para pengusaha akan memangkas pengeluaran dan pemutusan hubungan kerja (PHK) tenaga kerja ini bisa memperparah resesi AS itu sendiri," kata Badiul.

Selain itu, risiko hard landing juga sangat besar karena the Fed menunda penurunan suku bunga yang menimbulkan terjadi pelambatan ekonomi, pengangguran akan melonjak, dan kontraksi perekonomian yang bisa membutuhkan waktu lebih lama untuk pemulihannya.

Badiul pun meminta pemerintah RI agar mengurangi kebergantungan pada ekonomi global, termasuk kepada AS sebagai mitra dagang utama.

"Kita kurang melakukan diversifikasi mitra dagang sehingga perekonomian nasional rentan terhadap fluktuasi ekonomi global," kata Badiul.

Pemerintah, jelasnya, perlu mengoptimalkan kebijakan proaktif terutama dalam diplomasi ekonomi.

Kebijakan pemerintah tergolong tidak cukup agresif dalam merespons kondisi ketidakpastian perekonomian global dalam mendorong sektor-sektor yang potensial tumbuh.

Investasi pada pendidikan, infrastruktur, dan teknologi untuk ketahanan ekonomi Indonesia.

Pemerintah juga perlu melakukan reformasi kebijakan pengelolaan utang yang tentu sangat terdampak pada situasi saat ini terlebih jika suku bunga terus naik.

Pembiayaan utang akan sangat membebani APBN.

"Jika perlu moratorium utang luar negeri, terlebih dengan utang Indonesia yang naik drastis," tukasnya.

Dia juga meminta pemerintah memperkuat dukungan ke sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia karena terbukti mampu menopang perekonomian Indonesia saat diterpa krisis.

Sementara itu, pakar ekonomi dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Dian Anita Nuswantara, mengatakan para investor memang memantau ketat perlambatan pertumbuhan ekonomi AS karena the Fed tak kunjung memangkas suku bunganya, dan itu menimbulkan kekhawatiran di sana.

"Kekhawatiran hard landing di AS memang beralasan, tampak di awal bulan ini indeks S&P 500 menunjukkan pembukaan yang lemah.

Kekhawatitan juga tampak dengan pasar mengawasi ketat data tenaga kerja, yang terbukti indeks melorot setelah angka pekerja yang mengajukan tunjangan pengangguran tinggi," jelas Dian.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top