Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Transisi Energi I RI sebagai Negara Kepulauan Seharusnya Bangun PLTS "Off Grid"

RI Harus Memahami Perubahan Peta Industri Baterai Mobil Listrik Global

Foto : Sumber: Markandya & Wilkinson (2007); Sovacool et

PUTU RUDY SETIAWAN Pakar Transportasi ITS Surabaya - Isu utama kendaraan listrik sebenarnya adalah sumber energinya, kalau masih bersumber dari bahan bakar fosil (sumber PLN) sama saja. Jadi membuat kebijakan itu harus menyeluruh, jangan sepotong-sepotong.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Ambisi pemerintah untuk menjadi salah satu pemain utama dalam rantai pasok energi dengan menjadi salah satu produsen dan distributor baterai dunia masih sebatas angan-angan. Sebab, konsep yang dibangun tidak komprehensif dan terkesan setengah hati karena sulitnya melepaskan dari pengaruh para kroni yang selama ini menjadi pemain di energi kotor seperti batu bara.

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudisthira, yang diminta pendapatnya di Jakarta, Minggu (4/6), meminta pemerintah untuk tidak melakukan transisi energi yang semu sebab baterai yang digunakan oleh kendaraan listrik masih bersumber dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Khususnya aktivitas industri pengolahan nikel yang akan menghasilkan baterai tersebut masih menggunakan PLTU berbahan bakar batu bara.

"Pemerintah hanya fokus transisi di hilirnya saja melalui kendaraan listrik, tetapi di hulunya masih menggunakan energi kotor yakni batu bara. Jadi nanti di Jakarta udaranya bersih, tetapi di Morowali (lokasi smelter) udaranya kotor oleh PLTU," kata Bhima.

Hal itu, kata Bhima, yang membuat Tesla, pabrik kendaraan listrik global mengurungkan niatnya berinvestasi di Indonesia. Pasalnya, supply chain-nya masih melibatkan energi kotor. Hal itu akan mempersulit perusahaan mendapatkan pendanaan.

"Salah satu syarat dari lembaga-lembaga kreditor ialah investasi harus berprinsip pada environmental/lingkungan, social, dan governance/ tata kelola yang baik (ESG). Jika tidak maka akan dikenakan bunga tinggi. Itulah yang membuat Tesla batal ke Indonesia," tegas Bhima.

Saat ini, katanya, daftar pembangkit captive power plant dari batu bara di kawasan industri yang berkaitan dengan pengolahan nikel-bahan baku baterai sangat banyak seperti di Delong Nickel Industrial Area, Weda Bay Industrial Park, Morowali Industrial Park dan di Kawasi Industrial Park.

Isu Utama EV

Secara terpisah, pakar transportasi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Putu Rudy Setiawan, mengatakan pemerintah harus menyiapkan cetak biru dan kebijakan yang menyeluruh terkait peta jalan kendaraan listrik atau electric vehicle (EV), karena itu terkait dengan spektrum luas dari pengembangan energi baru terbarukan yang menyangkut keberlanjutan lingkungan, efesiensi energi, kebijakan iklim, dan tata transportasi masa depan.

"Isu utama kendaraan listrik sebenarnya adalah sumber energinya, kalau masih bersumber dari bahan bakar fosil (sumber PLN) sama saja. Jadi membuat kebijakan itu harus menyeluruh, jangan sepotong-sepotong," kata Putu.

Mobil listrik yang ada saat ini, sumber listriknya masih menggunakan energi fosil (batu bara) yang tidak ramah lingkungan. Kalau membeli mobil listrik, isi ulang (charge) baterainya masih menggunakan listrik PLN yang menggunakan energi fosil. Keadaan seperti itu tetap dipaksakan karena untuk membeli kelebihan pasokan listrik PLN yang jumlahnya 7 Gigawatt (GW) yang dimiliki kroni.

Sementara itu, Peneliti Ekonomi Indef, Nailul Huda, mengatakan pengembangan mobil listrik nasional masih sangat prematur dibandingkan dengan value chain global. Indonesia hanya terus mengandalkan cadangan nikel dan nikel lagi. Padahal nikel itu hanya sebagian kecil dari value chain mobil listrik.

Selain itu, nikel juga bisa digantikan dengan bahan lainnya di kemudian hari. Teknologi baterai bahkan sudah berpindah dari nikel ke lithium yang bahan bakunya banyak terdapat di Austria. Austria kini bekerja sama dengan Arab Saudi mengembangkan baterai lithium di Saudi, karena Saudi mataharinya lebih terik sehingga baterai lithium yang dikembangkan di sana bisa lebih murah dan lebih baik. Ini yang sekarang menjadi saingan Tiongkok.

Selain itu, keuntungan smelter-smelter nikel, kata Nailul, larinya ke pihak asing di mana tidak ada keuntungan yang didapatkan oleh pemerintah.

"Jadi selain kontribusi ke value chain minim, tidak ada keuntungan bagi pemerintah," kata Nailul.

Sebagai informasi, proyek pengembangan industri berbahan nikel di Indonesia dikuasai Tiongkok yang diduga bekerja sama dengan para kroni. Makanya, beberapa waktu lalu ada perusahaan Korea Selatan, Posco yang membangun pabrik baterai dari bahan nikel di Indoensia, tetapi belum tentu laku di pasaran. Sebab, Amerika Serikat (AS) sebagai produsen mobil listrik terbesar dunia mengenakan tarif yang tinggi dan mensyaratkan tidak akan membeli baterai mobil listrik yang berasal dari perusahaan yang sahamnya dimiliki Tiongkok.

Sedangkan pabrik yang dibangun Korea itu bahan bakunya masih di bawah kendali perusahaan Tiongkok. Kini, perusahaan Korea tersebut bingung karena sebagian besar produksi dilempar ke AS sebagai produsen terbesar mobil listrik.

Undang-Undang Pengurangan Inflasi AS atau Inflation Reduction Act (IRA) menawarkan kredit pajak miliaran dolar kepada perusahaan baterai hanya jika persentase tertentu dari nilai mineral penting yang terkandung dalam produk mereka diproses atau diekstraksi di AS atau oleh mitra dengan perjanjian perdagangan bebas.

Kalau AS menolak membeli baterai dari Indonesia maka industri nikel akan susah berkembang karena hanya bisa dijual di negara-negara Asia khususnya Asia Tenggara.

"Korea Selatan berencana menggunakan Indonesia sebagai pusat global utama untuk produksi kendaraan listrik. Tapi tanpa konsesi dari AS itu akan sulit. Paling-paling Indonesia bisa berakhir sebagai pusat produksi regional," kata Kyunghoon Kim, peneliti di Korea Institute for International Economic Policy, seperti dikutip Financial Times.

Secara terpisah, Peneliti Pusat Riset dan Pengabdian Masyarakat (PRPM) Institut Shanti Bhuana, Bengkayang, Kalimantan Barat, Siprianus Jewarut, mengatakan keputusan pemerintah untuk tidak mengekspor nikel mentah sangat bagus karena bisa memberi nilai tambah (added value) dengan membangun industrinya di dalam negeri.

Beralih ke Lithium

Namun demikian, pemerintah juga harus mengetahui perkembangan teknologi EV, kalau tidak perjuangan untuk tidak mengekspor bijih nikel mentah akan sia-sia. Di dunia saat ini demand untuk bahan baku pembuatan baterai bisa berubah dengan perkembangan teknologi baru yang menjadi bahan terbaik bukan lagi nikel, tetapi lithium yang banyak dimiliki Austria.

"Sementara RI tidak rajin membangun kelistrikan, lihat saja tenaga matahari ditelantarkan. Kita tidak ada demand karena tidak membangun dan malah menganakemaskan bahan baku fosil dan batu bara, makanya tertinggal. Sistem kronisme inilah yang bikin kita terbelakang karena tidak ikuti perkembangan dunia. Kita melek tiba-tiba sudah tertinggal," katanya.

"Kronisme membuat kita tidak paham perkembangan teknologi dunia, semuanya untuk kepentingan jangka pendek. Kronisme jugalah yang membuat perusahaan Tiongkok bisa menguasai nikel kita. Padahal baterai yang dihasilkan dari nikel kita yang dikuasai mereka tidak laku dijual di AS. Ini yang membuat kita terbelakang," tambahnya.

Sebagai negara khatulistiwa, Indonesia memiliki banyak sumber energi baru terbarukan (EBT) terutama matahari, tetapi tidak dimaksimalkan. Indonesia yang merupakan negara kepulauan, seharusnya juga membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang off grid atau tidak tersambung dengan listrik PLN yang menggunakan batu bara.

PLN hebat sekali kalau bisa membangun storage di pulau-pulau kecil yang selama ini mereka abaikan karena hanya fokus kepada pembangunan listrik batu bara. Jika tidak maka PLN akan kesulitan bersaing di masa depan.

Dengan mengembangkan energi bersih di daerah terpencil yang tidak tersambung dengan listrik PLN (off grid) maka itu benar-benar energi bersih.

"Batu bara itu lebih kotor dari bensin. Ironisnya, kita mengampanyekan mobil listrik, tetapi listriknya masih bersumber dari batu bara. Padahal, batu bara itu lebih kotor dari bensin, pertalite maupun pertamax," pungkas Siprianus.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top