Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Pengelolaan Keuangan Negara I Pertumbuhan Utang Sudah Tidak Masuk Akal

Rezim Baru Terus Mengusung Penyakit Lama Kronisme yang Membunuh Bangsa

Foto : ANTARA/ALOYSIUS JAROT NUGROHO

PERLU TEROBOSAN MEMBANGUN PRODUKTIVITAS PERTANIAN I Buruh tani merontokkan padi dengan mesin tradisional saat panen di Pelem, Simo, Boyolali, Jawa Tengah. Pemerintah dianggap belum peduli terhadap nasib petani. Direktur ADB untuk Indonesia, Jiro Tominaga mengingatkan perlunya melakukan berbagai terobosan untuk membangun produktivitas pertanian di Indonesia mengingat pekerja sektor pertanian menikmati tingkat produktivitas yang rendah, dengan mayoritas petani kecil.

A   A   A   Pengaturan Font

» Di Indonesia, yang kaya makin kaya karena ketidakadilan dari kejahatan ekonomi.

» Pancasila sebagai idiologi bangsa terancam jika sebagian besar rakyat berpikir Indonesia hanya milik orang berduit.

JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pekan lalu merilis utang Pemerintah Indonesia pada posisi Desember 2022 yang sudah mencapai 7.733,99 triliun rupiah atau bertambah 825,03 triliun rupiah dibanding posisi akhir 2021 yang tercatat sebesar 6.908,87 triliun rupiah.

Utang tersebut pada posisi saat ini diperkirakan terus bertambah dan kemungkinan menembus 8.000 triliun rupiah karena Pemerintah terus menerbitkan surat utang. Setiap kuartal Bank Indonesia terus membeli Surat Berharga Negara (SBN) tidak kurang dari 200 triliun rupiah.

Pembelian oleh bank sentral itu menempatkan Indonesia sebagai negara di luar Amerika Serikat (AS) yang membeli surat utang Pemerintah. Hal itulah yang dinilai sebagai salah satu penyebab inflasi, karena bank sentral menginjeksi likuiditas dengan mencetak uang ke dalam perekonomian.

Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center, Hardjuno Wiwoho, yang diminta pendapatnya di Jakarta, Minggu (19/3) mengatakan dengan utang sebesar itu jika dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini sebanyak 275 juta jiwa, maka setiap penduduk, termasuk bayi yang baru lahir sudah menanggung utang sebesar 29 juta rupiah.

Dari sisi produktivitas, Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia tercatat sebesar 3.892 dollar AS atau sekitar 60 juta rupiah per tahun atau 5 juta rupiah per bulan. Hal itu berarti setiap penduduk, mulai dari bayi, anak kecil, ibu rumah tangga, pengangguran, mahasiswa, pekerja, memiliki penghasilan 5 juta rupiah sebulan.

Dengan asumsi rata-rata keluarga di Indonesia memiliki empat orang anggota, maka setiap keluarga Indonesia rata-rata memiliki penghasilan 20 juta rupiah. Pendapatan per kapita sekitar 60 juta rupiah itu dinilai distorsi karena GDP per kapita tidak mengelompokkan penghasilan itu dari perusahaan-perusahaan asing atau oleh perusahaan lokal. Semua output ekonomi dihitung sebagai GDP. Di sinilah tampak betapa struktur keuangan nasional begitu memberatkan masyarakat.

Pertumbuhan utang Pemerintah kata Harjuno bisa dikatakan sudah tidak masuk akal. Sebab setiap tahun pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 5 persen, 3 persennya berasal dari konsumsi yang tidak bisa diputar lagi, sementara pertumbuhan utang jauh di atas itu. Dengan pertumbuhan riil yang hanya 2 persen sampai kapanpun tidak akan mampu membayar utang.

"Kalau pemimpin tidak menyadari bahayanya pertambahan utang, sangat menyedihkan. Soal tunggu waktu saja untuk runtuh," kata Harjuno.

Dengan beban utang sebesar itu, Indonesia jelasnya telah terjebak dalam situasi middle low income trap atau jebakan negara berpendapatan menengah bawah. Pemerintah sebenarnya beberapa kali punya kesempatan untuk melewati jebakan negara berpenghasilan menengah bawah, tetapi pemerintah melewatkan kesempatan itu (missed opportunity) karena kembali melakukan kesalahan fatal yakni menarik utang untuk kepentingan yang tidak produktif dan mengabaikan sektor paling penting dalam perekonomian yaitu pertanian dan sektor riil. Maka jangan heran GDP per kapita Indonesia tertinggal dibanding negara-negara lain. Di Asia Tenggara, jangankan dengan Singapura, dengan Malaysia dan Thailand pun kita jauh di bawah.

Saat krisis moneter 1998, perbankan nasional hancur karena digunakan pemilik dan kelompok oligarki. Praktik salah kelola itu sekarang sepertinya kembali diulang dengan jor-joran menyalurkan kredit bank sektor properti yang memicu bubble atau penggelembungan ekonomi. Selain itu, juga menyalurkan pembiayaan untuk impor yang mematikan produk dalam negeri serta memperbesar porsi pembiayaan ke sektor konsumsi.

"Jadi rezim baru kembali mengulang penyakit lama, padahal kronisme sudah jelas membunuh bangsa," kata Harjuno.

Ketimpangan Ancam Pancasila

Pekan lalu, Guru Besar Sekolah Tinggi Driyakara Franz Magnis Suseno alias Romo Magnis dalam Seminar Nasional bertajuk: Menyongsong Kontestasi Demokrasi mengingatkan akan ancaman pada ideologi Pancasila karena ketimpangan ekonomi.

Saat ini menurut Romo Magnis, setidaknya ada tiga hal yang mengancam kedaulatan Indonesia secara internal. Salah satunya ketimpangan ekonomi yang makin lebar. "Orang kaya kita menjadi semakin kaya, sementara 50 persen masyarakat belum betul-betul sejahtera. Kemudian 10 persen atau sekitar 28 juta orang, masih miskin. Jangan-jangan bangsa kita terpecah secara vertikal," kata Romo Magnis.

Dia menduga, jika mayoritas masyarakat yang notabene belum terjamin kesejahteraannya merasa Indonesia hanya milik orang berduit, maka ideologi bangsa, Pancasila, akan ditinggalkan.

"Apabila orang kecil, 50 persen bangsa yang belum terjamin sejahtera mendapat kesan bahwa Indonesia adalah milik mereka yang di atas kita, jangan heran kalau mereka mencari orientasi ideologi selain daripada Pancasila," ungkap ahli filsafat itu.

Sebab itu, Romo Magnis meminta Pemerintah untuk menghapus kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan bagi semua sebagai prioritas pembangunan Indonesia.

Menurut Harjuno, Indonesia tidak boleh gagal karena demokrasi Indonesia itu hebat sekali. Namun Pancasila dan demokrasi bisa gagal karena ekonomi.

Kekhawatiran terhada masa depan Indonesia juga disampaikan Bank Pembangunan Asia (ADB) belum lama ini. Direktur ADB untuk Indonesia, Jiro Tominaga mengingatkan perlunya melakukan berbagai terobosan untuk membangun produktivitas pertanian di Indonesia, mengingat pekerja sektor pertanian menikmati tingkat produktivitas yang rendah, dengan mayoritas petani kecil. Hal itu berarti, Indonesia tidak akan punya harapan kalau kebijakan pertanian yang diterapkan masih begitu-begitu saja.

"Pemerintah tidak peduli dengan petani, yang dipelihara malah debitur BLBI. Sampai kapan pemimpin bangsa ini mau mencintai bangsanya dengan sejati, bukan hanya sekedar retorika, namun dengan perbuatan," kata Peneliti Pusat Riset dan Pengabdian Masyarakat (PRPM) Institut Shanti Bhuana, Bengkayang Kalimantan Barat, Siprianus Jewarut.

Menurutnya negara tidak boleh kalah terhadap kelompok-kelompok yang selama ini merampok uang negara.

"Pemerintah harus mengobati dan menghentikan ketidakadilan ini. Meskipun sakit, tapi harus dihentikan agar tidak ambruk. Orang asing melihat alam kita kaya, tetapi rakyat dimiskinkan oleh kebijakan yang jahat dan terus dipertahankan. Hal yang paling sederhana adalah hak tagih Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tidak pernah ditagih, padahal jelas-jelas itu hak hukum. Bagaimana dengan kebijakan yang lain, pasti lebih parah." Jelas Siprianus.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top