Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, Terkait Potensi Ancaman Krisis

Resesi yang Akan Datang Banyak Berasal dari Perdagangan

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

Bagaimana sebenarnya kemungkinan terjadinya resesi ekonomi dan apa yang semestinya dilakukan oleh pemerintah untuk mengantisipisanya, Koran Jakarta mewawancarai peneliti Indef divisi Center for Investment, Trade, and Industri, Andry Satrio Nugroho, kemarin.

Bagaimana sebenarnya kemungkinan terjadinya resesi?

Banyak ahli percaya bahwa resesi akan terjadi tidak lama lagi. Dan resesi yang akan datang berbeda dengan resesi di 2008. Saya sependapat dengan Nouriel Roubini, seorang ekonom tersohor Amerika Serikat yang mengatakan bahwa penyebab resesi yang akan datang adalah negative supply shocks.

Apa artinya?

Artinya, ke depan, supply dari barang akan mulai terganggu dari segi kuantitas dan harga. Dalam jangka panjang akan merembet pada harga yang mahal, menurunkan daya beli konsumen dan berimplikasi pada perlambatan ekonomi.

Setidaknya ada tiga shocks yang menyebabkan resesi global, yakni, eskalasi perang dagang, perang teknologi, dan harga minyak.

Kita fokus dulu pada eskalasi perang dagang ya. Nah, berdasarkan perhitungan dari Peterson Institute, tidak hanya barang konsumsi, ke depan beban tarif yang diberikan oleh AS akan lebih banyak menyasar pada barang modal dari Tiongkok.

Bagaimana kondisi Indonesia?

Sebetulnya makroekonomi Indonesia sendiri sudah cukup teruji dalam melewati badai guncangan ekonomi global yang berimbas pada capital outflow. Sebut saja 2008 (subprime mortgage crisis), 2013 (taper tantrum) dan 2018 (stock market correction). Namun, resesi ke depan ini hanya sedikit melibatkan dari channel moneter dan keuangan karena sebab resesi lebih banyak berasal dari perdagangan.

Apa yang perlu dilakukan Indonesia untuk menghadapi gelombang resesi?

Perkuat basis produksi dan mengejar perbaikan pada industri prioritas yang berorientasi ekspor ke pasar dan negara dengan konsumen terbesar, dalam hal ini salah satunya adalah Amerika Serikat.

Industri prioritas apa yang perlu kita kejar mengingat waktu sudah semakin sempit?

Pengenaan tarif oleh Amerika Serikat terhadap barang-barang dari Tiongkok ditetapkan di Section 301 dalam Trade Act 1974. Indonesia bisa memanfaatkan peluang ini dengan berfokus pada perdagangan dengan komoditas atau produk unggulan yang saat ini dimiliki Indonesia. Beberapa produk unggulan yang kita miliki bahkan tidak terkena tarif di Section 301 dan juga masih diberikan fasilitas pembebasan tarif GSP.

Jadi secara sederhana, kuncinya ada dua, melihat produk Tiongkok di Amerika Serikat yang terkena tarif dan produk kita yang masih diberikan pembebasan tarif GSP. Jika demikian, setidaknya ada tiga industri yang perlu diperkuat dalam jangka pendek untuk menghadapi tantangan resesi ini yaitu industri karet, furniture, dan elektronik.

Apa yang musti dilakukan di 3 industri itu?

Pertama, industri karet. Di Amerika Serikat, Indonesia menjadi pemain keenam terbesar dengan menguasai pasar produk karet setara dengan 1,9 miliar USD. Tiongkok sendiri sudah dikenakan tarif Section 301 atas produk karetnya, dan sebanyak 42 persen produk karet Indonesia dikenakan pembebasan tarif GSP.

Produk utama yang bisa dikejar adalah Ban Truk dan Bs serta Ban Radial (ban yang dipergunakan untuk kendaraan balap), lalu juga ada sarung tangan medis dan karet.

Lalu apa yang terjadi dengan industri elektronik?

Produk elektronik dari Tiongkok merupakan produk yang paling terkena dampak dari perang dagang ini. Perang dagang pun kini mulai menjadi perang teknologi ketika melibatkan industri elektronik di dalamnya.eko sugiarto putro/AR-3

Komentar

Komentar
()

Top