Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kelompok Radikal

Relasi Erat Keluarga Dapat Sadarkan Jihadis

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

YOGYAKARTA - Tidak sedikit jihadis di Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir berhasil melepaskan diri dari nilai-nilai kekerasan dan berintegrasi kembali dengan masyarakat. Sebagian dari mereka bahkan kini aktif menyuarakan nilai perdamaian.

Peneliti dari Goucher College, Amerika Serikat, Dr. Julie Chernov Hwang, memaparkan proses tersebut dalam bukunya yang berjudul "Why Terrorist Quit: The Disengagement of Indonesian Jihadists". "Sama halnya dengan ikatan sosial yang menjadi kunci bagi proses radikalisasi, pembentukan relasi yang baru serta pertemanan menjadi kunci bagi disengagement pula," ujarnya dalam kegiatan diskusi buku yang diselenggarakan di Fisipol UGM, Yogya, Jumat (3/8).

Ia menuturkan, disengagement terjadi di antara anggota-anggota kelompok ekstrimis di Indonesia. Melalui wawancara dengan 55 orang yang pernah ataupun sedang memiliki afiliasi dengan kelompok ekstremis Islam seperti Jamaah Islamiyah, Laskar Jihad, Mujahidin KOMPAK, Tanah Runtuh, dan Ring Banten, Hwang menjelaskan proses psikologis, rasional, relasional, dan emosional kelompok jihadis di Indonesia dalam melepaskan diri dari nilai-nilai kekerasan serta upaya mereka dalam berintegrasi kembali dengan masyarakat.

Dalam buku ini ia berargumen bahwa proses reintegrasi seorang jihadis dapat dibagi menjadi 4 fase, yaitu pertama, timbulnya kealihsadaran yang berujung pada kekecewaan atau disillusion ment terhadap pemimpin kelompok dan aksi yang dilakukan.

"Kekecewaan ini bisa dialami terhadap taktik atau cara yang dilakukan di kelompok tersebut, kecewa pada pemimpin, dan kadang juga kecewa dengan peran dirinya sendiri. Ada yang mengatakan kecewa karena melihat terlalu banyak orang yang menjadi korban," jelasnya.

Emosi ini, imbuhnya, dalam berbagai kasus yang ia amati terbukti tidak cukup untuk membuat seseorang keluar dari kelompok jihad, karena terdapat loyalitas yang sudah terbangun di dalam kelompok yang ia ikuti. Meski demikian, emosi ini memunculkan sebuah momen penyadaran yang memulai proses refleksi atas tindakan yang dirasa kurang benar.

Kekecewaan tersebut kemudian berlanjut pada rasionalisasi dampak keuntungan dan kerugian yang didapatkan dari kegiatan ekstremisme yang dijalankan. Selain itu, hal lain yang tidak kalah penting adalah berkembangnya hubungan sosial dan pergaulan seorang jihadis di luar kelompok sepemikirannya, serta munculnya prioritas-prioritas baru dalam hidup seorang jihadis yang menggantikan gagasan mereka tentang jihad.

Dari berbagai faktor pendorong disengagement yang ia temui. Julie menyebutkan bahwa relasi menjadi faktor yang paling banyak memberikan pengaruh.

YK/AR-3

Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top