Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pertemuan Jokowi-Prabowo | Perlu “Check and Balances” Agar Pemerintahan Berjalan Baik

Rekonsiliasi Harus Diwujudkan

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Setelah Mahkamah Konstitusi menolak seluruh permohonan yang diajukan kubu Prabowo-Sandiaga Uno, harusnya segala hiruk pikuk politik sisa dari kontestasi pemilihan presiden berakhir sudah. Apalagi setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pemenang pemilihan presiden. Idealnya yang kalah mengucap selamat. Sehingga publik bisa menangkap ada sikap kenegarawanan yang diperlihatkan para elit yang berkontestasi dalam pemilihan presiden kemarin.

"Yang kalah mengucapkan selamat ke yang menang. Yang menang siap mengemban amanah dan berdiri di atas semua golongan," kata Pengamat Politik dari Universitas Islam Negari Syarif Hidayatullah Adi Prayitno di Jakarta, Minggu (30/6).

Menurut Adi, karena MK telah menolak gugatan Prabowo dan KPU pun telah menetapkan siapa pemenang pemilihan presiden, harusnya momen selanjutnya adalah rekonsiliasi. Jokowi dan Prabowo Subianto, sebagai dua tokoh yang mewakili dua kubu yang bersaing dalam pemilihan kemarin, mestinya bertemu. Bahkan, keduanya berpidato atau mengeluarkan pernyataan bersama, yang menekankan bahwa kompetisi politik sudah usai.

Keduanya harus menegaskan kepada rakyat, bahwa sekarang adalah saatnya merajut kembali kebersamaan." Hakikat rekonsiliasi itu niat tulus ikhlas mengakhiri konfrontasi dan persaingan. Fondasinya adalah keikhlasan untuk kembali seiring seirama," katanya.

Sementara terkait perlukah Jokowi merangkul kubu Prabowo untuk masuk dalam koalisinya, Adi berpendapat sekarang yang mendesak adalah dua tokoh itu bertemu dulu. Rekonsiliasi harus diwujudkan dulu.

"Sedangkan sharing power dan lainnya semata bonus politik biasa, tapi bukan yang utama. Mengenai kemungkinan Gerindra masuk ke koalisi Jokowi, sangat terbuka partai pimpinan Prabowo itu untuk merapat. Dan itu perkara lumrah," kata Adi.

Hanya saja, kata dia, kalau kemudian Gerindra apalagi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masuk ke koalisi pendukung Jokowi, akan menimbulkan problem politik. Sebab, tak ada lagi partai penyeimbang. Alhasil, ini akan menganggu proses check and balances. Ia sendiri menyarankan, sebaiknya PKS dan Gerindra tetap di luar pemerintahan.

"Problemnya, politik kita jadinya serba lucu macam dagelan politik. Rakyat terbelah ekstrim sementara elit malah bagi-bagi kekuasaan. Selain itu, ini akan menjadi kabar buruk bagi oposisi. Karena itu menurut saya, Jokowi tak perlu mengakomodir partai-partai pendukung 02. Biarkan mereka jadi oposisi. Toh Jokowi sudah bisa kuasai 60 persen kekuatan parlemen jadi tak perlu risau lagi soal dukungan Senayan," tuturnya.

Segera Bertemu

Sedangkan Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Jakarta, Ujang Komarudin menyarankan, paska KPU menetapkan pemenang pemilihan presiden, sebaiknya Jokowi dan Prabowo segera bertemu. Pertemuan ini sangat penting untuk meredakan tensi politik. Sekaligus sebagai ajang rekonsiliasi nasional. " Siapapun yang menang harus merangkul yang kalah. Yang menang jangan jumawa. Dan yang kalah harus legowo," katanya.

Jika Prabowo dan Jokowi bisa bertemu dan melakukan langkah-langlah kongkrit untuk rekonsiliasi, kata Ujang, maka masyarakat yang sudah terpolarisasi akan bisa bersatu kembali. Tak ada kata lain, mereka mesti segera bertemu untuk memikirkan bangsa dalam lima tahun kedepan. Sebab tak akan ada persatuan di masyarakat bila tidak ada rekonsiliasi. " Jadi rekonsiliasi merupakan keniscayaan pasca putusan MK dan penetapan pemenang Pilpres oleh KPU," ujarnya.

Terkait kemungkinan Partai Gerinda merapat ke kubu pemenang, menurut Ujang, Jokowi- Ma'ruf tentu menginginkan itu. Dengan masuknya Gerindra ke koalisi kubu 01, maka pemerintah akan semakin kuat. Namun konsekuensinya, kelompok oposisi kian melemah. ags/AR-3

Penulis : Agus Supriyatna

Komentar

Komentar
()

Top