Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Produk Hukum I Tidak Ada Aturan Jelas soal Batasan Narkoba Golongan Tertentu

Rehabilitasi bagi Pengguna Narkotika Tidak Tepat

Foto : ANTARA/Muhammad Zulfikar

Direktur Eksekutif ICJR Erasmus A.T Napitupulu.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Solusi dengan rehabilitasi proses hukum yang merupakan rehabilitasi berbasis hukuman bagi pengguna narkotika dinilai tidak tepat. Reformasi kebijakan narkotika mesti sejalan dengan konstitusi negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, kesehatan publik dan pengurangan dampak buruk atau harm reduction.

"Karena itu, intervensi bagi pengguna narkotika hanya boleh dengan berbasis kesehatan dan ilmu pengetahuan dan sama sekali tidak dengan pendekatan hukuman (bersifat punitif)," kata Erasmus Napitupulu, perwakilan dari Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika(JRKN) menanggapi revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, di Jakarta, Minggu (3/4).

Erasmus mengingatkan pendekatan hukuman atau yang bersifat punitif hanya akan memindahkan overcrowding rutan dan lapas ke overcrowding tempat-tempat rehabilitasi. Rehabilitasi wajib bagi pengguna narkotika bertentangan dengan pendekatan hak asasi manusia, kesehatan masyarakat, juga bertentangan dengan pendekatan pengurangan dampak buruk.

"Selain itu, penggunaan narkotika harusnya didekriminalisasi, tidak semua membutuhkan rehabilitasi," katanya.

Ditambahkannya, beberapa negara yang berhasil mereformasi kebijakan narkotikanya tidak menghadirkan rehabilitasi wajib, namun mengedepankan penilaian derajat keparahan yang bersifat komprehensif pada domain kesehatan, sosial, ekonomi untuk menentukan intervensi yang tepat.

"World Drug Report 2021 juga menjelaskan bahwa hanya 13 persen pengguna narkotika yang penggunaannya bermasalah, sehingga tidak semua pengguna narkotika membutuhkan rehabilitasi wajib yang dikonsepkan pemerintah dalam revisi UU Narkotika," ujarnya.

Skema dekriminalisasi yang ia perkenalkan, mengatur rentang ambang batas, untuk menentukan kepemilikan untuk kepentingan pribadi. Dalam rentang tersebut, pengguna nakotika menjadi subjek penilaian panel asesmen yang berada di layanan kesehatan hingga ke tingkat puskesmas. Lalu, dinilai oleh tenaga kesehatan dan konselor adiksi untuk menentukan intervensi yang tepat, tanpa adanya anggota tim dari aparat penegak hukum. Penilai ini berada di fasilitas kesehatan yang sistemnya sudah ajeg hingga ke tingkat kecamatan.

"Sehingga RUU tidak memerlukan penguatan khusus pada kelembagaan BNN khususnya Tim Asesement Terdapu. Komponen asesmen tersebut bisa ditempel dengan sistem kesehatan yang sudah tersedia saat ini. BNN kedepannya dapat berfokus pada penanganan perkara yang lebih terorganisir, sedangkan layanan bagi pengguna narkotika murni menjadi domain kementerian kesehatan," tuturnya.

"Setiap pengguna pasti akan mudah terjerat dengan pasal penguasaan dan pembelian narkotika. Hal ini menjadi dasar mengapa banyak pemenjaraan bagi pengguna, masing-masing pasal tersebut juga memuat ketentuan minumum khusus. Namun, malah pemerintah tidak mengajukan sama sekali revisi ketentuan pidana ini," katanya.

Tak Menjangkau

Terkait aturan tentang penggolongan narkotika, kata Erasmus, pemerintah luput memperhatikan kebutuhan akan perlunya revisi aturan tentang larangan golongan narkotika golongan I untuk kesehatan. Seharusnya menjadi diperbolehkan. Lalu berkaitan dengan tata cara pengubahan golongan, hingga saat ini tidak ada aturan jelas mengenai batasan negara dapat mengubah atau mengeluarkan atau memasukkan suatu zat ke dalam narkotika golongan tertentu.

"Sehingga ketentuan mengenai Peraturan Pemerintah soal ini harus dimunculkan dalam revisi UU Narkotika. Sayang, pemerintah tak menjangkau hal ini," ujarnya.


Redaktur : andes
Penulis : Agus Supriyatna

Komentar

Komentar
()

Top