Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Krisis di Perbankan AS

Regulasi di Bank Harus Ditinjau Kembali

Foto : PATRICK T FALLON/AFP

FIRST REPUBLIC BANK DAPAT SUNTIKAN DANA DARI BANK BESAR AS I Nasabah keluar dari kantor cabang First Republic Bank di Manhattan Beach, California, AS, belum lama ini. First Republic Bank menghadapi krisis kepercayaan dari investor dan pelanggan, namun akan menerima bantuan sebesar 30 miliar dolar AS dari 11 bank besar di Amerika Serikat. Bank-bank besar tersebut termasuk JPMorgan Chase, Bank of America, Wells Fargo, Citigroup, dan Truist.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Kolapsnya bank pemberi pinjaman Amerika Serikat (AS), Silicon Valley Bank (SVB), baru-baru ini, sekali lagi menyoroti pentingnya regulasi perbankan dalam hal pengurangan risiko.

Pakar keuangan yang juga pendiri CDAM, perusahaan manajemen investasi di London, Scott Davies, mengatakan implikasi dari krisis SVB terhadap sistem keuangan adalah regulasi kemungkinan akan ditinjau ulang.

SVB ditutup oleh regulator AS pada Jumat (10/3), pekan lalu, setelah bank pemberi pinjaman yang berfokus pada sektor teknologi itu melaporkan kerugian besar dari penjualan sekuritas, yang memicu penarikan simpanan di bank tersebut. Ini merupakan kegagalan bank terbesar kedua dalam sejarah AS.

Davies, yang juga menjabat sebagai Chief Investment Officer CDAM, mengatakan bahwa beberapa tahun lalu undang-undang AS menaikkan ambang batas untuk pemantauan bank. "Namun, deregulasi dan berkurangnya pelaporan yang mengikutinya kemungkinan telah meningkatkan risiko krisis perbankan seperti ini," ungkapnya.

Menurut sebuah laporan Presiden AS sebelumnya, Donald Trump, pada 2018, menandatangani sebuah undang-undang yang membebaskan beberapa bank dengan skala seperti SVB dari kebijakan yang lebih ketat pascakrisis keuangan tahun 2008.

Di bawah aturan lama tersebut, bank-bank dengan aset sedikitnya 50 miliar dollar AS (1 dolar AS = Rp15.418) diwajibkan untuk melakukan stress test Federal Reserve tahunan, guna mempertahankan tingkat modal tertentu (agar dapat menyerap kerugian) dan likuiditas (agar dapat dengan cepat memenuhi kewajiban tunai).

Selain itu juga mengajukan rencana "surat wasiat" (living will) untuk pembubaran bank-bank tersebut secara cepat dan tertib jika mengalami kegagalan.

SVB, jelas Davies, seharusnya sudah dipantau sejak lama sehingga kesalahan pengelolaan akan dihentikan sejak lama, andai ambang batas tetap pada 50 miliar dollar AS.

Berbicara tentang akar penyebab kolapsnya SVB, Davies berpendapat bahwa pihak manajemen bank tersebut harus menanggung porsi kesalahan paling besar, disusul oleh perubahan regulasi dan kenaikan suku bunga Federal Reserve.

"Insiden itu akan menimbulkan pertanyaan bagi Federal Reserve tentang apakah akan terus menaikkan suku bunga," kata Davies.

Meminimalkan Risiko

Pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJT), Aloysius Gunadi Brata, sepakat bahwa kolapsnya SVB kembali menegaskan urgensi mengevaluasi regulasi perbankan agar lebih ketat sehingga bisa memitigasi risiko.

Pelunakan regulasi terhadap sektor perbankan terbukti membawa akibat buruk, selain juga sebagai akibat dari kenaikan suku bunga yang terus-menerus membuat kinerja keuangan SVB memburuk. Keadaan ini juga memperkuat banyak kekhawatiran yang sebelumnya telah muncul soal risiko-risiko investasi di bisnis startup yang terlalu cepat menggelembung.

Sementara itu, peneliti ekonomi Indef, Eisha Maghfiruha Rachbini, menyampaikan secara keuangan bank-bank di Indonesia memiliki keuangan yang baik. Namun demikian, krisis harus dihindari sebab tidak gampang mengelola stabilitas sistem keuangan, apalagi jika mengalami krisis.

Beruntung, kata Eisha, bank- bank di Indonesia belum banyak membiayai startup atau perusahaan rintisan di bidang teknologi, meskipun memang sudah ada gejala ke arah sana.

Belajar dari kasus SVB, setidaknya mengingatkan pentingnya mendalami kelayakan pembiayaan ke bisnis itu. "Kita harus waspada terhadap perusahaan dengan aset dan harga saham yang meroket pesat, tetapi kemudian anjlok drastis," tegasnya.

Selain itu juga memberi pelajaran berharga bagi regulator moneter di semua negara khususnya negara-negara berkembang termasuk Indonesia. "Suku bunga yang terlampau cepat naiknya akan menimbulkan sistemik risk pada financial system di negara tersebut," kata Eisha dalam diskusi virtual di Jakarta, Jumat, (17/3) malam.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top