Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Modernisasi Sistem

Regenerasi Petani Mendesak demi Ketahanan Pangan Indonesia

Foto : ISTIMEWA

ESTHER SRI ASTUTI Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Undip Semarang - Masalahnya petani tidak mau anaknya menjadi petani dengan alasan hidupnya miskin, panas, kotor tidak seperti pekerja kantoran.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Regenerasi petani sangat penting dan mendesak untuk memastikan ketahanan pangan Indonesia dapat tercapai. Selain itu, regenerasi petani juga harus terjadi seiring dengan meningkatnya populasi penduduk Indonesia.

Hal itu dikemukakan Peneliti muda Lembaga penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Azizah Fauzi di Jakarta, Jumat (23/9).

"Regenerasi petani ini sangat penting sebagai salah satu upaya meningkatkan ketahanan pangan, karena salah satu unsur ketahanan pangan itu kan ketersediaan bahan pangannya, jadi regenerasi petani ini penting sebagai salah satu upaya kita untuk memastikan pangan tetap tersedia," kata Azizah.

Selain itu, Azizah menekankan pentingnya regenerasi petani untuk memodernisasi sistem pertanian di Indonesia Generasi muda yang lebih melek teknologi akan lebih mudah beradaptasi menggunakan perangkat ataupun aplikasi yang terkait dengan pertanian.

"Jadi harapannya regenerasi petani juga bisa mempercepat pertanian kita supaya bisa lebih terbuka dengan teknologi, pertanian yang modern, dan juga lebih mudah mengadopsinya," ujarnya.

Azizah mengungkapkan data Badan Pusat Statistik 2018 yang menyebut bahwa mayoritas petani Indonesia berusia 45 tahun ke atas. Saat ini hanya sekitar 8 persen dari petani di Indonesia yang berusia di bawah 40 tahun.

Selain itu, data itu menyebutkan bahwa petani juga masih didominasi oleh pekerja yang berpendidikan rendah. Terdapat sekitar 66,42 persen tenaga kerja di sektor pertanian yang tidak tamat SD atau bahkan yang tidak sekolah. Sementara sekitar 16,13 persennya hanya berpendidikan sampai tingkat SMP.

Tidak Menarik

Dihubungi terpisah, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, sepakat dengan penilaian CIPS. Menurut Esther, masalahnya petani tidak mau anaknya menjadi petani dengan alasan hidupnya miskin, panas, kotor tidak seperti pekerja kantoran atau karyawan pabrik yang punya gaji tetap dan lebih sejahtera serta mapan dibanding petani.

Sebagai contoh, upah pekerja sektor pertanian masih relatif kecil dibandingkan sektor lain, hanya sekitar 52.000 rupiah per hari. "Ini kan sangat kecil. Maka, saya tidak heran kalau misalnya anak petani tidak mau jadi petani karena memang upah yang diperoleh relatif sangat kecil. Ini akan ada problem untuk regenerasi SDM di bidang pertanian," tegasnya.

Itu juga terkonfirmasi dengan nilai tukar petani yang rendah, ditunjukkan data badan pusat statistik (BPS).

Yang kedua, lahan petani sempit dan produktivitas petani yang rendah sehingga mengakibatkan pendapatan petani rendah karena hasil panen volume sedikit. Oleh karena itu, profesi menjadi petani untuk generasi muda tidak menarik.

Masalah menjadi pelik ketika petani memacu produksi, tetapi begitu mau panen, tiba tiba dihantam dengan kebijakan impor pangan, yang membuat harga produksi petani tidak bisa bersaing. Itu yang membuat banyak anak muda tidak tertarik menjadi petani karena yang dapat untung pemburu rente.

"Kalau mau diperbaiki maka harus dibenahi dengan cara tingkatkan kapasitas ekonomi desa menjadi menarik bagi generasi muda. Bagaimana caranya supaya mereka tetap tinggal di desa dan menjadi petani, dibanding harus pindah ke kota untuk mencari pekerjaan," tambahnya.


Redaktur : Redaktur Pelaksana
Penulis : Antara, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top