Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan BI

Racikan Jamu Moneter untuk Jaga Stabilitas Perekonomian

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Usai dilantik sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI) pada Kamis 24 Mei 2018, Perry Warjiyo memulai serangkaian langkah taktis dengan menggelar koordinasi baik dengan pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun di internal BI. Respon cepat Perry itu karena stabilitas nilai tukar rupiah saat itu dalam kondisi tertekan. Bahkan sejak Januari hingga ia dilantik rupiah sudah terdepresiasi sekitar 4 persen ke level 14.150 hingga 14.200 per dollar Amerika Serikat (AS).

Dalam sebuah konferensi pers, Perry yang pembawaannya tenang, mendadak tidak menyampaikan pernyataan pembuka dan meminta langsung digelar tanya jawab. "Saya tidak punya waktu banyak, jadi kita langsung Q and A (question and answer-red) saja. Saya harus rapat jam 2," kata Perry dengan mimik yang sedikit tegang.

Dari rangkian koordinasi maraton dalam beberapa hari itu, BI mengumumkan akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) insidential atau di luar jadwal pada Rabu, 30 Mei 2018 atau enam hari setelah Perry memimpin bank sentral.

Pada RDG akhirnya memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,75 persen, suku bunga Deposit Facility (DF) sebesar 25 bps menjadi 4,00 persen, dan suku bunga Lending Facility (LF) sebesar 25 bps menjadi 5,50 persen, berlaku efektif tanggal 31 Mei 2018.

Keputusan tersebut merupakan kebijakan jangka pendek BI yang memprioritaskan kebijakan moneter pada stabilitas nilai tukar rupiah. Hal itu dilakukan dengan empat strategi, pertama respons kebijakan suku bunga akan tetap ditempuh secara pre-emptive, front-loading, dan ahead of the curve untuk stabilisasi nilai tukar rupiah, di samping tetap konsisten menjaga inflasi 2018-2019 agar terkendali sesuai sasaran 3,5±1 persen.

Kedua, intervensi ganda (dual intervention) di pasar valas dan di pasar surat berharga negara (SBN) terus dioptimalkan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah, penyesuaian harga di pasar keuangan secara wajar, dan menjaga kecukupan likuiditas di pasar uang. Ketiga, strategi operasi moneter diarahkan untuk menjaga kecukupan likuiditas khususnya di pasar uang rupiah dan pasar swap antar bank. Terakhir, komunikasi yang intensif khususnya kepada pelaku pasar, perbankan, dunia usaha, dan para ekonom untuk membentuk ekspektasi yang rasional sehingga dapat memitigasi kecenderungan nilai tukar rupiah yang terlalu melemah (overshooting) dibandingkan dengan level fundamentalnya.

"Kebijakan ini sebagai langkah pre-emptive, front-loading, dan ahead of the curve BI untuk memperkuat stabilitas nilai tukar terhadap perkiraan kenaikan suku bunga AS yang lebih tinggi dan meningkatnya risiko di pasar keuangan global," jelas Perry. bud/R-1

Potensi Melambat

Dalam menyikapi faktor eksternal, khususnya ketidakpastian ekonomi global baik rencana kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) maupun ketegangan perdagangan Amerika Serikat dengan Tiongkok, BI dalam beberapa kali RDG bulanan tetap menaikkan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate hingga puncaknya ke level 6 persen pada, Kamis 15 Oktober 2018.

Bank sentral sadar bahwa kebijakan tersebut dari sisi tanggung jawab menjaga stabilitas kurs rupiah memang penting, namun di sisi lain akan menghambat laju pembiayaan, sehingga pertumbuhan ekonomi berpotensi melambat. Sebagai otoritas moneter, Perry yang menganalogikan kenaikan suku bunga sebagai jamu pahit perekonomian harus diimbangi dengan jamu manis kebijakan makroprudensial yang akomodatif dengan melonggarkan kembali Rasio Loan to Value/Financiang to Value (LTV/FTV) untuk Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) fasilitas kredit pertama, inden, dan termin pembayaran. Selain itu, menyempurnakan ketentuan GWM LFR menjadi Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) untuk mendorong intermediasi perbankan dan mengimplementasikan instrumen Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) untuk meningkatkan fleksibilitas pengelolaan likuiditas perbankan serta mempertahankan besaran CCB pada level 0 persen.

Chief Economist BNI, Ryan Kiryanto berpendapat pertimbangan BI dengan bauran kebijakan selain untuk memperkuat eksternal juga melihat faktor internal, di mana bank sentral dan pemerintah memiliki stance atau pandangan yang sama, yakni stability over growth atau memprioritaskan stabilitas sambil menjaga momentum pertumbuhan.

"Keputusan ini bisa membantu penguatan daya tahan ekonomi Indonesia terhadap tekanan eksternal baik trade war AS vs Tiongkok, risiko geopolitik, perlambatan ekonomi global, masih melemahnya harga komoditas dan kebuntuan solusi Brexit," kata Ryan.

Relaksasi kebijakan makroprudensial seperti LTV, RIM dan PLM dan kebijakan lanjutannya bisa diperkuat sehingga bauran kebijakan BI akan sangat tepat menjadi "jamu manis" untuk memperkuat daya tahan perekonomian nasional.

Kini, setelah ketidakpastian ekonomi global sudah terukur dan dipastikan perang dagang berlanjut yang berdampak ke pelambatan ekonomi global, maka bank-bank sentral mulai menurunkan suku bunga dengan tujuan untuk memperkuat perekonomian domestik masing-masing negara.

BI pun, kembali melonggarkan kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga BI 7day Reverse Repo Rate 0,25 persen ke level 5,75 persen, suku bunga Deposit Facility 25 bps menjadi 5,00 persen, dan suku bunga Lending Facility juga turun 25 bps menjadi 6,50 persen.

Kebijakan tersebut ditempuh karena prakiraan inflasi rendah dan perlunya mendorong momentum pertumbuhan ekonomi, di tengah kondisi ketidakpastian pasar keuangan global yang menurun dan stabilitas eksternal yang terkendali.

Kepala Kajian Makro Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI), Febrio Kacaribu berpendapat keputusan BI menurunkan suku bunga acuan karena ekspektasi inflasi tetap terkendali. Selain itu, ketidakpastian ekonomi global dan sikap dovish The Fed telah mendorong aliran modal terutama portofolio ke negara-negara berkembang pada instrumen surat berharga negara (SBN) yang sejak Mei 2019 mencapai 5 miliar dollar AS.

"Trend aliran dana yang deras memungkinkan BI memupuk cadangan devisa dan rupiah stabil di kisaran 14.000-14.300 rupiah per dollar AS. Ini yang memberi kepercayaan BI menurunan suku bunga 0,25 persen ke level 5,75 persen," kata Febrio.

Dari bauran kebijakan moneter BI yang menerapkan prinsip pre-emptive, ahead of the curve, terukur dan akomodatif kiranya tetap menjadi racikan yang ampuh menghadapi tantangan ekonomi global dan mampu menjaga stabilitas makro untuk mendorong pertumbuhan. bud/R-1

Penulis : Vitto Budi

Komentar

Komentar
()

Top