Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kontrak Freeport I Pemerintah Harus Konsisten dengan Bentuk Hukum yang Diatur di UU

Proses Negosiasi Mesti Terbuka

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Selain tidak terbuka pada publik, proses negosiasi kontrak tidak menunjukkan adanya terobosan baru dalam sikap pemerintah terhadap Freeport.

JAKARTA - Proses negosiasi kontrak antara pemerintah Indonesia dengan Freeport dinilai masih memberikan keistimewaan bagi perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut ketimbang menjalankan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar RI 1945 dan UU Minerba No 4 Tahun 2009.

Seperti diketahui, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, bertemu dengan pimpinan Freeport McMoran di Houston, Amerika Serikat (AS). Hal itu merupakan bagian dari lawatan Jonan ke AS. Pertemuan itu hendak mencari titik temu mengenai empat isu krusial, yakni tentang perpanjangan masa operasi PTFI, pembangunan fasilitas pemurnian, divestasi saham, dan ketentuan fiskal.

Namun, sejumlah pihak pesimistis terhadap hasil pertemuan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, dengan CEO Freeport McMoran, Richard Adkerson, di AS. Koordinator Riset dan Advokasi Indonesia for Global Justice (IGJ), Budi Afandi, mengatakan pertemuan tersebut masih jauh dari keberhasilan dalam perspektif masyarakat sipil karena beberapa hal.

Pertama, menurut Budi, proses tidak menunjukkan adanya terobosan baru dalam sikap pemerintah terhadap Freeport. Kedua, negosiasi masih jauh dari keterbukaan pada publik, negara, dan korporasi seakan tidak merasa perlu bersikap transparan.

"Kita tidak bisa ahistoris dalam melihat negosiasi ini, karena proses serupa sudah pernah terjadi, termasuk mengenai substansi persoalan yang dibicarakan," tegasnya, di Jakarta, Kamis (27/7).

Budi mencontohkan, isu pembangunan smelter yang menjadi kewajiban perusahaaan tambang seharusnya sudah selesai dengan pengaturan Permen ESDM No 1 Tahun 2014. Untuk menunjukkan komitmen dalam membangun smelter sudah diatur sebelumnya, namun tetap tidak dipenuhi.

Kemudian, mengenai klaim bahwa Freeport mau mengubah Kontrak Kerja (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Hal ini hanya akan dilakukan jika pemerintah mau memberikan perpanjangan sampai 2041.

"Mereka bisa kita sebut mau mengubah KK menjadi IUPK hanya pada saat mereka mau mengikuti syarat dari kita, bukan syarat Freeport yang mengendalikan kita," ucapnya.

Sengaja Menjebak

Terkait jaminan investasi, Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti, menilai ada yang janggal dari hasil pertemuan antara Menteri ESDM dengan Freeport McMoran. Pasalnya, Freeport tetap meminta adanya perjanjian kerja sama kedua pihak sebagai bentuk jaminan kepastian investasi. Namun, di sisi yang lain Freeport menyatakan telah bersedia untuk mengubah KK dengan IUPK.

Perjanjian jaminan kepastian investasi yang diminta Freeport hanya akan menjebak Pemerintah Indonesia. "Perjanjian kepastian investasi yang dimaksud hanya akan membuka celah di bawanya sengketa ke arbitrase internasional dan menyulitkan Indonesia" kata Rachmi.

Karenanya, sambung Rahcmi, permintaan Freeport untuk membuat Perjanjian kerja sama secara terpisah harus ditolak oleh karena tidak diatur di dalam UU. Mestinya sudah ada IUPK, yaitu penetapan dari Menteri yang dijamin oleh undang-undang.

"Pemerintah harus konsisten dengan bentuk hukum yang telah disepakati dan diatur di dalam UU. Kalau konteksnya cuma perjanjian perlindungan investasi, opsi P4M antar Negara sudah cukup itu", tegas Rachmi. ers/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top